Jakarta, CNN Indonesia -- Siang ini, lebih dari 70 pekerja PT Freeport Indonesia berjalan kaki (
long march) dari Kantor PP Muhammadiyah di bilangan Menteng menuju ke Gedung Perserikatan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Jakarta Pusat, Kamis (2/8).
Di sepanjang jalan salah seorang anggota peserta aksi yang membawa pengeras suara meneriakkan tuntutan--tuntutannya sembari sedikit bercerita mengenai nasib mereka yang tidak jelas di Tanah Papua.
"Permisi warga Jakarta yang kami cintai dan kami banggakan, kami di sini ingin menyampaikan aspirasi kami. Kami menuntut kejelasan atas nasib kami," teriak salah seorang orator melalui pengeras suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sembari melayangkan aspirasinya, peserta aksi membawa beberapa atribut dan spanduk-spanduk yang berisi tuntutan tersebut.
Beberapa atribut yang mereka bawa yakni keranda mayat berwarna putih bertuliskan 'Korban PHK Sepihak, PT Freeport Indonesia' dan 'Korban BPJS', serta sejumlah salib kayu berwarna hitam.
Terlihat juga setidaknya 20 petugas kepolisian yang menggunakan motor tengah mengamankan aksi damai tersebut. Sepanjang jalan dari PP Muhammadiyah ke gedung PGI aksi pun berlangsung kondusif.
Sesekali tampak juga warga sekitar mengabadikan momen aksi itu menggunakan kamera ponsel pintar.
Peserta aksi damai itu tiba di gedung PGI pada pukul 10.15 WIB. Tujuan mereka adalah untuk melakukan audiensi dengan pengurus PGI.
Sebelum memasuki gedung mereka sempat berdoa sejenak. Terlihat juga beberapa peserta terisak, saking khusyuknya berdoa.
Setelah diterima pengurus PGI untuk Audiensi, Koordinator Pekerja PT Freeport Indonesia Marten Mote menyampaikan tuntutan mereka kepada pemerintah. Dia mengaku sudah kebingungan untuk mengadu pada siapa terkait nasibnya di PT Freeport Indonesia.
"Kami sudah tidak tahu harus kemana lagi mau cari keadilan," terang Mote di tengah proses Audiensi.
 Para pekerja PT Freeport membawa keranda sebagai atribut aksi menuntut kejelasan nasib mereka, Jakarta, 2 Agustus 2018. (CNN Indonesia/Setyo Aji Harjanto) |
Kuasa Hukum dari LOKATARU Foundation, Nurkholis Hidayat, bercerita awal mula tuntutan itu muncul saat 8.300 pekerja PT Freeport Indonesia dirumahkan pada Februari 2017.
Hal itu akibat dari keputusan pemerintah yang tidak memperpanjang izin ekspor konsentrat perseroan. Dengan alasan efisiensi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu merumahkan ke-8.300 pekerjanya.
Atas dasar ketidakjelasan nasib, lanjut Nurkholis, para pekerja akhirnya memutuskan untuk melakukan aksi mogok pada Mei 2017. Tak lama setelah mogok, PT Freeport memanggil para pekerja itu untuk kembali bekerja.
Hanya saja, panggilan itu tidak digubris, mereka tetap memutuskan untuk mogok kerja. Atas dasar itu PT Freeport Indonesia memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Ke-8.300 pekerja itu itu mogoknya dianggap tidak sah (oleh Freeport) jadi dianggap mengundurkan diri atau mangkir. Pemerintah juga bilangnya demikian," terang Nurkholis.
"Padahal menurut UU No13 Tahun 2003 ada yang namanya kejahatan pemogokan, suatu pemogokan yang sah apabila perusahaan tidak mengindahkan itu bisa dihukum denda dan pidana," sambungnya.
Hanya saja, kata Nurkholis, meski hal itu sudah diusut ke Pengawas Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Polisi, sampai saat ini belum ada respon terkait itu.
Selanjutnya, pada 21 Desember 2017 lalu untuk menyelesaikan masalah tersebut, Nurkholis menyebutkan, pihak dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sempat melakukan perundingan kepada PT Freeport Indonesia. Hanya saja pada perundingan itu pihak SPSI tidak mengajak para pekerja yang dirumahkan.
Hasil dari keputusan itu pun tidak menguntungkan untuk para pekerja. Para pekerja tetap itu akhirnya hanya dibayar sebesar satu bulan gaji saja oleh PT Freeport Indonesia. Sebagian besar dari mereka pun menolak hasil keputusan itu.
Atas dasar itu, Mote, meminta kepada pemerintah untuk kejelasan nasibnya yang sampai saat ini masih terombang-ambing.
"Kalau mau di PHK harus sesuai dengan UU tenaga kerja. Kalau mau pekerjakan kami bicara kami butuh kejelasan. Supaya tidak berlarut-larut seperti ini," tukas Mote.
(kid/gil)