Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (
BNPB)
Sutopo Purwo Nugroho menilai wacana penetapan bencana nasional
gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, cenderung dipolitisasi.
"Jangan menggembar-gemborkan, artinya sekarang kalau pemerintah pusat kan sanggup mudah menangani, Presiden sudah berkomitmen penanganannya akan total, jangan kemudian dipolitisasi," kata Sutopo di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (21/8).
Dia menerima banyak kritikan mengenai gempa Lombok yang belum juga berstatus bencana nasional. Akan tetapi, Sutopo menilai pihak yang mengusulkan itu tidak paham mekanisme penanganan gempa secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak yang mengusulkan, padahal yang mengusulkan tidak paham secara menyeluruh tentang manajemen bencana konsekuensi-konsekuensi dari bencana nasional," ujarnya.
Sutopo mengatakan Indonesia memiliki mekanisme payung hukum yang jelas dalam penanggulangan bencana. Hal itu tertuang dalam UU 24 nomor 2007 tentang penanggulangan bencana.
Dia menyebutkan lima variabelnya yaitu jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Belum lagi, ada indikator yang sulit untuk dihitung yaitu kemampuan pemerintah daerah yang terkena musibah bertanggungjawab atas warganya. Lagi pula, status itu tidak membuat penanganan bencana berbeda.
"Ini saya tunjukkan bahwa ada bencana-bencana lain sebelumnya yang korban dan kerugiannya lebih besar tetapi tidak ditetapkan sebagai bencana nasional," kata Sutopo.
Tim SAR mencari korban di reruntuhan Masjid Jamiul Jamaah yang rusak akibat gempa bumi di Bangsal, Lombok Utara, NTB. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) |
Dia menyebut gempa bumi Jogja pada 27 Mei 2006 yang menewaskan 5.773 jiwa dan kerugian Rp29,2 triliun. Pernah terjadi pula bencana gempa di Sumatra Barat pada 30 September 2009 yang menyebabkan kerugian Rp21,6 triliun dan merenggut 1.197 jiwa.
Jika dilihat dari bencana-bencana sebelumnya itu, Sutopo menilai bencana di Lombok masih belum sepadan. Meskipun ada keterlambatan dalam pendistribusian bantuan hal itu dianggapnya wajar.
Sementara, bencana tsunami di Aceh pada 2004 ditetapkan sebagai bencana nasional pada saat itu karena pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota termasuk unsur pusat di Aceh seperti Kodam dan Polda mengalami kolaps. Pemda setempat tidak berdaya sehingga menyerahkan ke Pemerintah Pusat.
Pemerintah kemudian menyatakan sebagai bencana nasional. Risikonya semua tugas Pemerintah Daerah diambil alih pusat termasuk pemerintahan umum, bukan hanya bencana saja.
Dengan penetapan status bencana nasional maka terbuka pintu seluas-luasnya bantuan internasional oleh negara-negara lain dan masyarakat internasional membantu penanganan kemanusiaan. Hal tertentu terkait dengan konsekuensi Konvensi Geneva.
"Akan tetapi hal itu seringkali malah menimbulkan permasalahan baru terkait bantuan internasional ini karena menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan," lanjut Sutopo.
Masalah pertahanan dan keamanan yang disinggung Sutopo termasuk kedaulatan negara Indonesia yang selama ini sudah dikenal memiliki reputasi baik untuk mekanisme penanggulangan bencana.
Sejumlah anak bernyanyi bersama relawan di tempat pengungsian korban gempa di Pemenang, Lombok Utara, NTB. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) |
Dari segi ekonomi, sosial dan budaya, Sutopo khawatir mudahnya pemerintah menetapkan musibah sebagai bencana nasional akan melemahkan kekuatan Indonesia di mata dunia.
"Jadi ada konsekuensi jika menetapkan status bencana nasional. Sejak tsunami Aceh 2004 hingga saat ini belum ada bencana yang terjadi di Indonesia dinyatakan bencana nasional. Sebab bangsa Indonesia banyak belajar dari pengalaman penanganan tsunami Aceh 2004," ujarnya.
Yang utama kata Sutopo adalah penanganan terhadap dampak korban bencana. Saat itu, terlalu banyak bantuan dan relawan yang masuk ke Indonesia bahkan dari aspek yang tidak dibutuhkan.
Saat itu, juga banyak NGO abal-abal yang mengatasnamakan korban untuk menarik donasi. Sementara donasi itu tak pernah sampai pada para korban.
"Potensi nasional masih mampu mengatasi penanganan darurat bahkan sampai rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana nanti. Tanpa ada status bencana nasional pun penanganan bencana saat ini skalanya sudah nasional," tegasnya kembali.
Meski berstatus potensi nasional, pemerintah pusat disebutnya akan terus mendampingi dan memperkuat Pemerintah daerah. Bantuan anggaran, pengerahan personel, bantuan logistik dan peralatan, manajerial dan tertib administrasi.
Namun Sutopo menyatakan tidak benar status bencana nasional akan membuat pariwisata merugi. Sebab status itu berbeda dengan status darurat sipil atau militer di mana suatu wilayah diisolasi.
"Jadi kalau menyatakan ini bencana nasional kemudian wilayah NTB tertutup itu tidak benar," katanya.
(pmg/gil)