Imparsial Nilai Protes Meiliana Kritik Sosial, Tak Hina Agama

Ramadhan Rizki | CNN Indonesia
Jumat, 24 Agu 2018 09:01 WIB
Imparsial menilai Meiliana tidak layak dipidana penjara sebab hanya mengeluhkan volume pengeras suara masjid, tetapi malah dianggap menodai agama.
Terdakwa kasus penista agama Meiliana mengikuti persidangan dengan putusan sela yang dibacakan majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara. (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menilai terdakwa kasus penistaan agama Meiliana yang divonis 1,5 tahun penjara karena mengeluhkan volume pengeras suara masjid semestinya tak dipidana. Ia menilai perbuatan yang dilakukan Meiliana adalah wajar sebagai salah satu bentuk kritik sosial.

"Menurut saya protes Meiliana soal tingginya volume pengeras suara bentuk kritik sosial, mengingat dia kan hanya mengeluhkan volume pengeras suaranya. Saya kira wajar karena terkait dengan domain publik," kata Ghufron kepada CNNIndonesia.com, pada Kamis (23/8).

Gufron menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Meiliana bukan merupakan aksi penodaan suatu agama tertentu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab, Meiliana hanya mengeluhkan soal volume pengeras suara masjid yang terlalu keras, dan bukan menghina subtansi atau kandungan makna yang terdapat pada lafal azan.

Ia lantas menyatakan tidak ada dalil yang jelas untuk menyebutkan bahwa protes Meiliana soal volume suara azan merupakan bagian dari penodaan agama.

"Dari peristiwanya hakim tak seharusnya menjatuhkan dia dengan hukuman itu, saya kira mestinya hakim membebaskan dari hukuman, karena apa yang dilakukannya bukan merupakan suatu penodaan agama," kata Ghufron.

Selain itu, Ghufron juga menilai pasal karet pada pasal penistaan agama semakin membuktikan aturan tersebut kerap kali digunakan oleh kelompok mayoritas untuk menyerang kelompok minoritas.

Ia lantas mencontohkan kasus Meiliana tak jauh berbeda dengan kasus penistaan agama yang menimpa Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada tahun lalu.

"Jadi ini kan sama kayak kasusnya Ahok. Apalagi kalau kita baca pasal 156 a gitu ya, problematik, ada kritik terhadap pasal itu, dalam praktiknya digunakan oleh kelompok intoleran digunakan untuk membungkam minoritas," kata Ghufron.

Ghufron mengatakan bahwa seharusnya kelompok pemeluk muslim bisa menunjukkan rasa toleransi terhadap pemeluk agama lain yang merasa terganggu dengan volume azan yang terlalu keras.

Ia juga mengatakan arogansi dari kelompok mayoritas yang diperburuk oleh keberadaan pasal karet dalam pasal penodaan agama justru akan memperburuk iklim toleransi yang sudah dibangun masyarakat Indonesia.

"Saya kira kita harus bisa membedakan kebebasan agama dan keyakinan dengan membedakan mana yang terkait internal dan eksternal. Jangan sampai toleransi antara agama terpecah akibat hal tersebut," katanya. (ayp/wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER