Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid menjunjung tinggi proses hukum terhadap vonis 18 bulan penjara terhadap Meililana, warga Medan yang mempermasalahkan suara
azan di daerah tempat tinggalnya.
"MUI pusat menjunjung tinggi proses hukum dan menghormati putusan hukum yang ada," kata Zainut kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (23/8).
Kendati demikian, MUI Pusat, kata Zainut belum bisa ikut memutuskan fatwa terkait adanya unsur penodaan agama di balik protes suara azan tersebut. Pasalnya, MUI Pusat belum menerima laporan dari MUI Sumatera Utara (Sumut) yang sudah menetapkan fatwa ada penodaan agama yang dilakukan Meiliana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"MUI Pusat belum terima laporan. Tapi prinsipnya MUI daerah bisa menetapkan fatwa berdasarkan kondisi daerah, karena daerah yang lebih mengetahui masalahnya," ujarnya.
Zainut mengungkapkan aturan soal aturan pengeras suara dari masjid sudh diatur oleh Kementerian Agama dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Meskipun dalam pelaksanannya belum jelas keterikatan hukumnya.
Masalah azan, kata dia, juga pernah disinggung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mengaku pemutaran kaset atau rekaman di masjid yang menggunakan pengeras suara menyebabkan polusi suara.
"Hanya saja memang belum jelas (aturannya). Azan itu fungsinya kan untuk ajakan Salat yang sudah sesuai syariat Islam. Jadi kami meminta semua pihak bisa menempatkan masalah ini secara proporsional," tegasnya.
MUI Pusat, imbuh Zainut, meminta semua pihak untuk menghindari kesalahpahaman terkait menempatkan toleransi dalam hidup antarumat beragama. Untuk itu, MUI Pusat mendesak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumut untuk bergerak cepat dalam memediasi berbagai pihak dalam kasus Meiliana.
"Jadi ini sebetulnya masalah daerah. FKUB harus bertindak cepat. Kalau persoalan meluas baru nanti MUI Pusat turun tangan. FKUB lebih dioptimalkan," pungkasnya.
Penggunaan pengeras suara untuk masjid, langgar, dan musala telah diatur oleh Kementerian Agama dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Namun aturan tersebut tak menyertakan sanksi kepada para pelanggarnya.
Aturan soal penggunaan pengeras suara di masjid, langgar atau musala kembali menjadi sorotan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan memvonis Meliani dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan karena terbukti bersalah melanggar pasal 156 a huruf (a) tentang penodaan agama.
Perkara hukum Meilana bermula pada Juli 2016 lalu. Saat itu Meilana mengeluhkan volume suara dari masjid yang keras.
Dikutip dari laman resmi Kemenag, Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 mengatur sejumlah hal terkait penggunaan pengeras suara di masjid.
Ada sejumlah poin dalam aturan tersebut. Salah satunya aturan bahwa pengguna pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil.
Dalam instruksi tersebut juga menyatakan syarat-syarat penggunaan pengeras suara seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat.
Khusus pada saat azan, Intruksi Dirjen Bimas Islam itu menyatakan sebagai tanda masuknya salat, suara azan memang harus ditinggikan. Atas dasar itu penggunaan pengeras suara saat azan tidak diperdebatkan.
Syarat lain adalah ketentuan bahwa orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara.
(gil)