Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mujahid menilai putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai terhadap Meiliana yang divonis bersalah melakukan penistaan atau penodaan agama karena mengeluhkan volume azan, tidak tepat.
"Sikap saya jika benar kasusnya hanya protes kepada masalah volume suara azan dan waktu tayang yang tidak tepat, maka bukan penistaan agama," kata Sodik melalui pesan singkatnya, Kamis (23/8).
Menurutnya, apa yang dilakukan Meiliana sama saja dengan memprotes volume suara musik yang terlalu keras.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meiliana dianggap hanya memprotes suara dan bukan isi dari azan yang dikumandangkan. Dengan demikian, Sodik menganggap kasus Meiliana tidak dapat dikategorikan sebagai penistaan agama. Lain hal jika Meiliana menambah perkataan yang mengandung unsur pelecehan terhadap azan.
"Jadi hakim harus ekstra cermat dalam memutuskan," kata politikus Gerindra ini.
Belajar dari kasus ini, Sodik mengatakan perlu ada edukasi lebih lanjut untuk saling menghargai antara umat beragama, baik itu masyarakat muslim maupun non-muslim agar kasus seperti Meiliana tidak berulang.
Meiliana divonis 18 bulan penjara karena terbukti melakuan penodaan agama karena mempermasalahkan volume suara azan di masjid Al-Makhsum yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Pihak Meiliana sudah menyatakan banding atas vonis hakim tersebut.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan kasus Meiliana yang divonis bersalah akibat protes volume pengeras suara masjid tak beda dengan kasus penodaan agama yang terjadi pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kasus-kasus itu terjadi akibat pemanfaatan pasal untuk menyerang minoritas tertentu, sementara unsur kesengajaan tak bisa dibuktikan. Meiliana sendiri dijerat lewat pasal 156a tentang penodaan agama.
Dalam pasal itu ada ketentuan tertulis
dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat permusuhan.
Direktur Eksekutif ICJR Anggara mengatakan dalam kasus Meiliana, penuntut umum maupun hakim gagal membuktikan unsur 'dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat permusuhan'.
"Implementasi pasal ini cenderung digunakan dalam konteks menyerang kelompok minoritas agama tertentu, salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Ahok beberapa waktu lalu," kata Anggara.
(wis)