Demokrat Bandingkan Capaian SBY dan Jokowi selama Pimpin RI

Tim | CNN Indonesia
Rabu, 26 Sep 2018 09:02 WIB
Demokrat membandingkan kinerja SBY dan Jokowi dalam menggerakkan roda perekonomian negara selama mengelola pemerintahan Republik Indonesia.
Ketum Demokrat SBY disebut saat memulai pemerintahannya pada 2004 silam diwarisi ekonomi yang buruk hingga ancaman konflik horisontal. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Memasuki masa kampanye Pemilu Legislatif dan Presiden 2019, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik gencar menyerang perkembangan ekonomi di bawah pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Lewat rangkaian kicauan di akun Twitter-nya, Rachland membandingkan pertumbuhan ekonomi RI antara di bawah Jokowi dan saat dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Semua pemerintahan baru tanpa kecuali mewarisi utang pemerintahan sebelum nya. Bedanya, ada yang bisa mengelolanya hingga produktif pada pertumbuhan ekonomi, melunasi utang pada IMF, menurunkan rasio utang pada PDB. Ada juga yang semuanya tak mampu," ujar Rachland.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Pada rangkaian kicauan selanjutnya, Rachland pun bermonolog dengan pertanyaan ataupun pernyataan yang biasa diungkap ketika grup Demokrat mengkritik pemerintahan Jokowi.



"Kami tak pernah memulai membandingkan. Tapi barangkali Anda bisa mulai membela argumen itu dengan menunjukkan: Berapa janji pemilu Jokowi yang dalam 4 tahun ini sudah dipenuhi?" demikian salah satu rangkaian kicauan Rachland kembali.

Rachland kemudian melanjutkan pada awal pemerintahan SBY (2004) Ketua Umum Partai Demokrat itu mendapat warisan konflik horizontal, separatisme, ekonomi yang ambruk, juga ketidakpercayaan internasional.

Selain itu, kata dia, Indonesia juga diuji bencana alam. Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, beberapa bencana alam yang paling dahsyat pada pemerintahan SBY adalah meletusnya Gunung Merapi, serta gempa dan tsunami yang menghantam Sumatra hingga pesisir selatan Jawa.

"Satu-satu diselesaikan sambil memupuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan... Jokowi tak diwarisi satu pun dari problem itu... Kok hasilnya begini?" kicau Rachland.



Bukan hanya men-tweet, Rachland pun melakukan retweet kicauan pihak lain soal data-data yang membandingkan pemerintahan Jokowi dan SBY. Di antaranya pertumbuhan ekonomi periode pertama SBY (2004-2008) yang dibandingkan dengan pemerintahan Jokowi kini.








Dalam kontestasi Pilpres 2019, Partai Demokrat adalah bagian dari koalisi yang mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pada kontestasi yang sekarang telah masuk masa kampanye, Prabowo akan kembali bersaing dengan Jokowi yang menggandeng Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden.

Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, target pertumbuhan ekonomi hingga 2017 silam baru terealisasi sekitar 5 persen, masih jauh dari target yang dipatok dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 7 persen pada 2019.

Indikator ekonomi lainnya, seperti pengangguran, kemiskinan, dan rasio gini yang juga belum menunjukkan tanda-tanda mendekati target RPJMN di 2019 mendatang.

Soal Ekonomi, Wasekjen Demokrat Berkicau SBY Lebih Baik

Di sisi lain, meski pertumbuhan ekonomi memang terseok-seok di kisaran 5 persen dan jauh dari target RPJMN sebesar 7,5 persen, angka kemiskinan mampu turun di bawah 10 persen. Tingkat kemiskinan ini digembar-gemborkan paling rendah sepanjang sejarah.

Per Maret 2018, tingkat kemiskinan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sebesar 9,82 persen dari total penduduk. Jumlahnya mencapai 25,95 juta penduduk.

Pada Juli lalu baik SBY maupun Prabowo menyorot jumlah penduduk miskin mencapai 100 juta orang. Keduanya menganalogikan 100 juta orang miskin tersebut dengan 40 persen penduduk berpendapatan terbawah.

Soal Ekonomi, Wasekjen Demokrat Berkicau SBY Lebih Baik


Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menilai sah-sah saja jika politikus memiliki perhitungan angka kemiskinan yang berbeda. Hal ini, menurut dia, tergantung bagaimana cara perhitungannya.

"Saat ini, data resmi-nya BPS, walau mungkin yang lain punya data beda. Dulu waktu Pak SBY menjabat presiden, dia juga sempat marah pada World Bank (Bank Dunia) yang menyebut penduduk miskin 60 juta orang, sedangkan data BPS 30 juta orang," ujar Lana kepada CNNIndonesia.com, 31 Juli 2018.

Saat ini, BPS menggunakan besaran pengeluaran sebagai dasar dalam menghitung jumlah penduduk miskin. Hal tersebut, menurut Lana, layak digunakan.

"Pendekatan pengeluaran itu lebih mudah digunakan. Kalau menggunakan pendapatan, masyarakat yang disurvei akan sulit jujur," ungkap dia soal teknik yang digunakan untuk menghitung kondisi ekonomi rakyat Indonesia kala itu.

(kid/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER