Jakarta, CNN Indonesia --
Hari Santri Nasional yang diperingati saban 22 Oktober merupakan buah janji politik Presiden RI Joko Widodo (
Jokowi) pada
Pilpres 2014.
Kini, jelang pemilu dan pilpres 2019, santri kembali menjadi idola serupa pedagang di pasar maupun nelayan di pesisir. Mereka menjadi target kampanye para peserta pemilu.
Pedagang di pasar ataupun nelayan di pesisir jadi simbol pendekatan peserta pemilu dalam memerhatikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat kecil. Sementara santri menjadi simbol bagi para peserta pemilu sebagai kedekatan mereka dengan umat, di mana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai kondisi tersebut telah menjadikan santri sebagai komoditas politik musiman.
"Dalam setiap hajatan pemilu suara kalangan santri selalu menjadi rebutan, mulai dari kontestasi tingkat lokal sampai pada level nasional. Wajar karena ceruk segmen suara santri ini cukup besar dan bisa mendongkrak elektabilitas," ujar Pangi, Senin (22/10).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri dimaknai sebagai orang-orang yang mendalami agama Islam atau orang saleh.
Politisi, kata Pangi, memahami keberadaan kaum santri akan sangat memengaruhi peta politik (
mapping elektoral). Oleh karena itu, sambungnya, wajar ketika para peserta pemilu, utamanya Pilpres 2019, berlomba-lomba menyambangi pesantren dan bersilaturahmi dengan kiai untuk meminta restu.
Secara kultural, hubungan kiai dan santri bersifat
sami'na wa atho'na. Apa yang dikatakan atau dititah kiai, maka santri sebagai murid akan manut, taat, dan patuh.
"Ketaatan para santri ini menjadikan pola kepemimpinan dalam pesantren menjadi paternalistik di mana pengaruh kepemimpinan (kiai) mempunyai legitimasi dan penerimaan (
acceptable) yang sangat kuat dan pemimpin dianggap sebagai pelindung yang dapat mengayomi layaknya seorang bapak terhadap anak-anaknya," kata Pangi.
Vokalis Sabyan Gambus Nissa Sabyan (kanan) menghibur ribuan santri saat Puncak perayaan Hari Santri Nasional 2018 di lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, 21 Oktober 2018. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa) |
Kelompok Santri pun BerpolitikNyatanya, kata Pangi, kalangan santri pun sadar dan memiliki kalkulasi politik sendiri terhadap peserta pemilu yang mendatangi mereka. Pangi mengatakan para santri tak akan lagi hanya mau dimobilisasi mendukung kandidat tertentu, namun diabaikan bahkan ditinggalkan kemudian. Setelah kepentingan politik selesai, selesai pula kunjungan ke pesantren dan cium tangan kiai. Begitu mendekati pemilu, penyakit politisi kambuh lagi, dan terus berulang.
"Tak mau terulang kasus mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan, yang mendorong ditinggalkan. Kiai dan santri minta kontrak politik sampai pembayaran berupa bantuan yang kongkret diselesaikan di depan," tuturnya.
Atas dasar itu, Pangi menilai baik kiai dan santri kini tak bisa lagi dipandang sebagai komoditas politik. Kiai dan santri dalam hal ini juga memainkan peran politiknya sendiri.
"Para kiai juga sudah sangat berpengalaman serta lihai dalam menghadapi situasi politik yang menempatkan mereka dalam pusaran perebutan dukungan," katanya.
Sejumlah santri berfoto sebelum menghadiri puncak perayaan Hari Santri Nasional 2018 di lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, 21 Oktober 2018. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa) |
Putar Otak Politisi untuk Dapatkan Suara Kiai dan SantriAda dua hal yang perlu diperhatikan para peserta pemilu agar tak terlalu 'ge-er' mendapatkan suara santri.
Pertama, kunjungan peserta pemilu ke ponpes yang diterima dengan baik bukan berarti dukungan politik gratis kepadanya. Pangi mengatakan, secara adab para kiai dan santri pasti akan memuliakan para tamu, tak terkecuali peserta pemilu yang datang berkunjung.
"Kewajiban seorang Muslim menjamu tamu dan membangun silaturahim namun belum tentu akan memberikan dukungan politik dalam bentuk suara di TPS," kata Pangi.
Kedua, fragmentasi kiai dan pesantren. Pangi menerangkan sebaran dan jumlah pesantren di seluruh Indonesia (terutama di pulau Jawa) menjadikan para kiai bersifat lebih otonom dalam membina dan mengurus pesantren-nya masing masing, bahkan sampai urusan politik.
"Tidak ada alur komando dan intruksi yang membuat para kiai hanya mengikuti arus dukungan terhadap kandidat tertentu bahkan yang tergabung dalam satu organisasi sekali pun," ujarnya.
Di satu sisi, Pangi menilai situasi itu membuka ruang kepada masing-masing kubu pendukung peserta pemilu, terutama pilpres, untuk melakukan pendekatan yang lebih intensif.
"Pendekatan yang intensif dan kemampuan memberikan janji angin surga yang menyakinkan bisa menjadi kunci dalam pendekatan ini, bukan hanya terpaku pada kandidat yang pernah nyantri atau tidak," ujarnya.
Pada pilpres 2019, terdapat dua calon peserta yakni calon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin dan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Jika merunut pada konteks kultural, Jokowi-Ma'ruf lebih dekat dengan kelompok santri. Pasalnya, hari santri lahir di era pemerintahan Jokowi. Selain itu, Ma'ruf adalah kiai senior di kalangan Nahdlatul Ulama. Itu terlihat dari posisinya sebagai Ketua Umum nonaktif Majelis Ulama Indonesia dan mantan Rais Aam PB Nahdlatul Ulama. Selain itu, Ma'ruf pun dikenal sebagai pemimpin ponpes An Nawawai Tanara, Serang, Banten.
Sementara itu, di kubu lawan, Sandiaga sudah disematkan sebagai santri post-islamisme bahkan ulama dari sudut keilmuan oleh politikus partai pengusungnya, PKS. Selain itu, pasangan Prabowo-Sandi pun didukung ijtimak ulama II yang diprakarsai Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) dan alumni 212 yang salah satu tokohnya adalah pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
(kid/gil)