Lemhanas: Tak Ada Tempat Bagi Ideologi di Luar Pancasila

Antara | CNN Indonesia
Kamis, 25 Okt 2018 05:31 WIB
Gubernur Lemhanas mengakui saat ini masih ada pihak yang mencoba memasukkan pandangan, tatanan, pemikiran, maupun ideologi di luar Pancasila ke Indonesia.
Gubernur Lemhanas Agus Widjojo berharap seluruh elemen bangsa Indonesia membendung pemikiran yang berupaya merusak konsensus nasional. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Agus Widjojo, mengatakan, bangsa Indonesia harus bisa membendung pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan tak sesuai konsensus nasional seperti NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Agus mengakui saat ini masih ada pihak-pihak yang mencoba membawa pandangan, tatanan, pemikiran, maupun ideologi di luar Pancasila agar masuk ke Indonesia. Padahal, pemikiran itu menggunakan pendekatan konflik dan peperangan.

"Hendaknya kita sadari di dalam mengungkapkan perbedaan. Betapapun orang berpandangan dia membawa tatanan yang lebih baik, tapi jika menggunakan konflik dan malah peperangan, maka tidak akan pernah baik," ujar Agus, dalam Jakarta Geopolitical Forum II/2018 bertema Mapping The Future of Geopolitics, Rabu (24/10) seperti dikutip Antara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Oleh karena itu, Agus mengatakan segenap elemen bangsa Indonesia seharusnya perlu memperkuat konsensus nasional tentang NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945.

"Maka, segala macam warisan pemikiran, pemahaman dan pandangan nasional dapat terjaga dengan baik," ucapnya.

Di tempat yang sama, mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (AS) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengatakan posisi Indonesia berdampak terhadap situasi geopolitik dunia. Itu, katanya, di antaranya dipengaruhi letak geografis, jumlah penduduk, keragaman kultur, dan kekayaan alam.

Pria yang menjabat Menko Perekonomian era Kepresidenan Megawati Soekarnoputri itu mengatakan lonjakan populasi penduduk dunia kian mempertajam persaingan antarnegara dalam menjaga wilayah dan mengelola sumber daya alamnya. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya konflik di sejumlah negara.

Ia mengatakan, adanya arus pengungsi dari negara yang dilanda perang ke wilayah negara lain secara langsung berdampak terhadap stabilitas politik sebuah kawasan sehingga berdampak pula terhadap situasi geopolitik dunia.

"Fokusnya banyak berkisar pada sumber krisis yang banyak terlihat. Bila kita bergerak tidak hati-hati maka kekacauan (disarray) akan menumpuk," kata Dorodjatun.

Terkini, perdebatan ideologi yang dipeributkan dengan Pancasila adalah perihal ideologi komunis dan khilafah. Ideologi komunis kembali dipeributkan, di mana Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah dibubarkan dan dilarang lewat Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 disebut hendak bangkit kembali.

Keributan yang bergaung sejak masa Pilpres pada 2014 silam itu pun sejauh ini kerap disebutkan sebagai hoaks, meski ada sejumlah pihak yang mengklaim memiliki bukti upaya penanaman ideologi komunis tersebut. Namun, sejauh ini kebangkitan komunis di Indonesia justru dipandang sebagai hantu.


Sementara itu, ideologi khilafah pun menjadi perdebatan terbaru setelah ideologi komunis. Ideologi yang kemudian membuat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan dan dilarang lewat Perppu Nomor 2 Tahun 2017, yang kemudian menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Persoalan khilafah itu pun kemudian menjadi polemik kembali setelah peristiwa pembakaran bendera hitam dengan tulisan kalimat saat peringatan upacara Hari Santri Nasional di Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat oleh anggota Banser NU.

Panji yang dibakar sejumlah pria berseragam Banser di Garut bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid identik dengan bendera Ar-Rayyah yang kerap dikibarkan massa HTI. Ar-Rayyah, bendera berwarna hitam dan aksara arab putih disebutkan sebagai panji perang pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Pasangan panji tersebut, yang juga kerap dibentang massa HTI adalah bendera dengan tulisan kalimat tauhid berwarna putih (Al-Liwa). Berbeda dengan Ar-Rayyah, Al-Liwa memiliki fungsi sebagai bendera resmi negara Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas yakin bendera itu bukan bendera tauhid, melainkan bendera HTI. Bahkan ia menganalogikannya dengan bendera Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Meski tidak ada nama HTI, tidak bisa dipungkiri kalau itu bendera HTI. Bendera Merah Putih itu kita tahu bendera Indonesia walau tidak ada tulisan Indonesia. Atau bendera palu arit di jalan, itu bendera PKI, kita mau ngomong apa?" ujar Yaqut dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (24/10).

(kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER