Jakarta, CNN Indonesia -- Masa kampanye calon presiden dan wakil presiden telah berjalan satu bulan. Baik pasangan
Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun pasangan
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, keduanya telah sama-sama 'menjual' berbagai cara demi mengeruk suara rakyat pada April 2019 mendatang.
Dua pasangan calon ini memiliki cara yang berbeda dalam mengambil hati masyarakat. Jika Joko Widodo sebagai petahana lebih condong bermain aman dengan 'pamer' berbagai capaiannya selama empat tahun menjabat, Prabowo dan Sandi justru menyerang apa yang dianggap sebagai kelemahan Jokowi-Ma'ruf.
Selama satu bulan ini, Prabowo dan Sandi gencar menanam simpati masyarakat, keduanya mencari celah dengan menjual istilah kemiskinan dan ketimpangan sosial. Sandi yang memang rajin blusukan ke pasar-pasar dan bertemu emak-emak mencoba mendekati masyarakat dengan pola 'janji politikus' dan memamerkan kesengsaraan untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Keduanya bahkan membagi tugas dalam kampanye dan bersilat janji. Jika Sandi fokus pada kebutuhan dapur emak-emak atau disebut juga sisi mikro ekonomi, maka Prabowo akan memegang yang besar-besar. Membahas soal nilai tukar dolar, dan bagaimana asing merajai perekonomian negeri ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau Pak Prabowo fokus di makro, nah Bang Sandi di Mikro," kata Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Jumat (26/10).
Tak hanya makro dan mikro ekonomi, Prabowo juga mencoba mendekatkan diri dengan masyarakat dengan menciptakan revolusi putih yang kemudian diubah dengan nama Gerakan Emas. Gerakan emas sendiri merupakan akronim dari Gerakan Emak dan Anak Minum Susu.
 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Ide itu diakui Prabowo karena dia melihat banyak anak Indonesia yang mengalami stunting atau kerdil. Sebab mereka kekurangan protein. Maka dengan minum susu protein itu akan terpenuhi, dan anak-anak pun bisa mendapat tinggi badan yang ideal.
"Itu bukan hanya sekadar janji dan ide, tapi juga rasa peduli yang kemudian akan kami tunjukkan melalui perubahan," kata Andre.
Sementara Prabowo-Sandi sibuk obral janji, hal berbeda dilakukan kubu Jokowi-Ma'ruf Amin. Dengan modal sebagai petahana, Jokowi tentu tak usah obral janji. Cukup tunjukan apa yang telah dicapai selama empat tahun memimpin negeri.
Nyatanya, hal itulah yang memang tengah dilakukan pasangan nomor urut 01 ini.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding menyebut menjual apa yang telah dicapai akan lebih efektif ketimbang obral janji tanpa bukti.
"Saya kira strategi menjual hasil kerja atau promosi atau sosialisasikan prestasi pembangunan itu akan lebih efektif karena terasa dan nyata di tengah-tengah masyarakat," kata Karding.
Dia mengaku tidak mau mengeksploitasi kesulitan masyarakat seperti yang sering dilakukan oleh Prabowo. Kata dia, Sandi juga gencar menggunakan istilah baru saat 'mengeksploitasi' kesulitan rakyat. Karding berpendapat lebih baik tunjukan bukti.
"Terutama Sandi itu terlaku eksploitasi, padahal baru omongan, belum ada bukti," katanya.
Lagi pula, kata Karding, Jokowi memang sudah tak perlu lagi mengumbar janji, masyarakat pun bisa melihat hasil kerja mantan wali kota Solo itu di mana-mana. Bahkan, lanjutnya, pasar-pasar yang selama ini sering digunakan Sandi untuk pamer janji pun kebanyakan direvitalisasi oleh Jokowi.
"Ya kami fokus saja, enggak gubris enggak usah obral janji. Yang penting sekarang kan ada bukti. Pasar juga banyak yang sudah direvitalisasi," katanya.
 Jokowi dan Ma'ruf Amin. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
"Karena apa, bicara soal ekonomi itu enggak cuma berkunjung ke pasar, blusukan itu hanya simbol. Karena yang penting itu apa yang nyata dan apa yang dilakukan, bukan cuma datang ke pasar saja," ujar dia.
Kedua pasangan ini memang memiliki cara berbeda dalam menarik simpati rakyat. Namun, apakah cara yang mereka gunakan mampu menarik simpati rakyat untuk memilih mereka pada April 2019 mendatang?
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Adi Prayitno menyebut tak ada satu pun cara kampanye yang bisa benar-benar menarik simpati. Meski begitu kata Adi, selama satu bulan masa kampanye ini kedua kubu memang saling serang dan mencari celah kelemahan dari masing-masing lawan.
"Mereka seolah tahu kelemahan masing-masing. Taruhlah Sandi dan Prabowo, dia tahu tak bisa menyerang Jokowi dari segi kepuasan pelayanan ASN, apa yang bisa? Ekonomi. Nah mereka gempur," kata Adi.
Sayangnya, kata Adi, gempuran itu tak juga digubris kubu Jokowi. Mereka justru malah asyik dengan dunia sendiri dan tentu paham bahwa sebagai petahana Jokowi memiliki banyak keuntungan.
"Jokowi punya apa yang bisa dipamerkan. Bukti-bukti pembangunan, saya rasa ini juga lah yang membuat dia percaya diri tanpa kampanye bisa dulang suara," katanya.
Dia mengatakan hal serupa memang pernah dilakukan Jokowi. Saat menjadi petahan pemilihan wali kota Solo, Adi menilai Jokowi bisa dibilang minim sekali kampanye. Dia malah sibuk menyelesaikan sisa pekerjaannya kala itu.
"Dia hanya bilang ya kalau mau pilih saya monggo ada buktinya, kalau engga mau ya engga apa-apa. Dan saat itu Jokowi menang telak," katanya.
Meski begitu, Adi menyebut kebiasaan blusukan rasanya masih tetap harus dilakukan Jokowi. Sebab hal itu memang kadung melekat di diri mantan Gubernur DKI ini.
"Karena takutnya kalau dia tak blusukan lagi, nanti pemilihnya bisa pindah haluan," kata Adi.