Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Sekretaris Jenderal
Partai Demokrat Andi Arief menyebut politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Eggi Sudjana sebagai satu dari sekian banyak politikus yang menjadi korban atas upaya bipolarisasi
Joko Widodo.
Hal ini disampaikan Andi melalui cuitan akun Twitter @AndiArief_ menjawab tudingan Eggi yang menyebut cara berpolitik Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan sebutan politik banci.
Bipolarisasi yang dimaksud terkait benturan antara kelompok Islam dan Nasionalis. Eggi, kata Andi, telah terjerumus dalam nikmatnya benturan Islam dan nasionalis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Eggi Sudjana adalah salah satu dari sekian tokoh politik yang menjadi korban tidak berdosa atas upaya bipolarisasi Jokowi yang mengakali Parlemen, UU dan MK. Egi terjerumus dalam nikmatnya benturan Islam dan Nasionalis seakan jadi laki-laki sejati dengan keislamannya," kata Andi, Senin (12/11).
Andi kemudian menjelaskan bahwa setelah Pilkada DKI 2017 memang terjadi pengentalan kepercayaan. Misalnya kekuatan kiri semakin kental, namun ada juga sebagian yang ke tengah dan minoritas menjadi satu kubu. Kubu lainnya ke kanan dan sebagian tetap di tengah.
"Demokrat berupaya tarik sebagian kiri/kanan dan minoritas menyatu di kekuatan tengah agar tidak bipolar yang bahaya. Eggi Sudjana salah tafsir," kata dia.
Dia kemudian mengatakan bahwa usai Pilkada DKI 2017, telah terjadi fenomena seperti fusi (penggabungan partai politik) tahun 1973. Dua kelompok lain, yakni Islam dan Nasionalis tengah pecah akibat Pilpres. Sementara Demokrat tetap jadi tengah yang sedang ditarik-tarik ke dalam dua kubu.
Oleh karena itu, kata Andi, Demokrat belajar dari pendahulu yang presidennya berupaya menghindari politik bipolar dengan cara demokratis.
"Sukarno dengan Nasakom, Soeharto dengan Fusi. Sayangnya mereka lakukan dengan paksaan dan akali UU seperti Jokowi yang mengakali parlemen dan UU serta MK untuk politik bipolar," katanya.
Dikatakan Andi, sepanjang 2004-2014 ketika SBY memimpin sebagai presiden perpolitik di Indonesia stabil. Sebab, Andi mengklaim, saat itu adanya persatuan nasional antara mayoritas tengah, sebagian kiri dan sebagian kanan serta kelompok minoritas dalam Indonesia bersatu.
"Itulah mengapa terjadi kedamaian dalam multipartai dan menopang ekonomi tumbuh," kata Andi.
"Kita harus segera hijrah dari negara dengan politik bipolar menjadi negara persatuan," kata dia.
(tst/osc)