Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana pemerintah mendanai
partai politik secara penuh lewat Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (
APBN) untuk menekan angka korupsi kembali muncul. Wacana ini disambut baik meski berpotensi muncul masalah baru jika parpol tidak ada iktikad memperbaiki tata kelola di dalam tubuhnya yang selama ini terjangkit penyakit oligarki.
Wacana
pembiayaan parpol itu kembali disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Ketua DPR Bambang Soesatyo saat menjadi pembicara dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2018.
Tjahjo berpendapat pembiayaan penuh akan memberi ruang bagi negara melakukan audit terhadap parpol. Sehingga, ia menilai negara memiliki kewenangan untuk membubarkan parpol yang terindikasi melanggar ketentuan pembiayaan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, Ketua DPR Bambang Soesatyo menilai mahalnya biaya politik membuat sejumlah politikus melakukan korupsi. Ia mencontohkan biaya pencalonan menjadi wali kota berkisar Rp5 miliar. Sementara untuk mencalonkan diri menjadi gubernur bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Bantuan terhadap parpol sejatinya sudah diberikan oleh negara lewat APBN. Negara mengalokasikan Rp1.000 per surat suara sah dari sebelumnya hanya Rp108.
Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengaku pihaknya sepakat dan sudah sejak lama mengusulkan negara menanggung pembiayaan parpol. Namun, pembiayaan itu harus diiringi dengan perbaikan tata kelola keuangan dan institusi parpol.
"Tapi ada syaratnya, tidak hanya soal besarannya yang dinaikkan, tapi juga soal tata kelola partai dan institusi partai yang harus diperbaiki," ujar Fadli kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (5/12).
Fadli menuturkan salah satu cara untuk melakukan perbaikan terhadap parpol adalah lewat revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Parpol. Tjahjo, kata dia, bisa langsung mengusulkan revisi UU Parpol dengan mencantumkan perbaikan tata kelola parpol, khususnya di sektor keuangan jika serius dengan usulannya.
"Kita setuju dengan kenaikan, tapi tentu dengan persona-persona yang bisa kita lihat bagaimana partai tetap bisa independen dan akuntabel," ujarnya.
Lebih lanjut, Fadli melihat tata kelola keuangan parpol saat ini belum akuntabel. Hal itu terlihat tidak ada satu partai pun yang secara berkala melaporkan penerimaan dan pengeluaran keuangannya kepada publik. Padahal hal itu merupakan inti dari permasalahan korupsi di parpol.
"Itu yang perlu kita
clear-kan, termasuk juga transparansi partai dalam menerima sumbangan dari pihak ketiga. Bukan soal dana kampanye ya, itu spektrum kecil saja dalam pengelolaan partai," ujar Fadli.
Terkait besaran bantuan pembiayaan parpol dari negara, ia menilai hal itu bisa didiskusikan. Ia berkata banyak formula yang bisa digunakan untuk menentukan besaran pembiayaan dari negara untuk parpol.
"Tetapi yang lebih fundamental menurut saya adalah komitmen untuk memperbaiki tata kelola keuangan partai, institusi partai yang lebih demokratis, inklusif, dan lebih transparan," ucapnya.
"Itu dulu yang perlu dijawab oleh parpol untuk kemudian mereka bersedia berkomitmen untuk itu," ujar dia.
Fadli lebih lanjut menuturkan pembiayaan bagi parpol oleh negara secara penuh memiliki dampak positif. Ia berkata parpol tidak akan mencari sumber dana di 'ruang gelap' jika negara menanggung pembiayaan parpol.
Sumber dana parpol di 'ruang gelap', kata dia, di antaranya melalui suap perizinan, konsesi lahan, jual beli jabatan, hingga bermain proyek.
"Nah kalau negara bisa meng-
cover itu, itu kan bisa diminimalisir potensi main ijon proyek, kemudian perizinan, jual beli jabatan, dan ruang-ruang suap lainnya yang kemudian itu akan merusak integritas pejabat negara," ujar Fadli.
Sementara dari sisi negatif, Fadli mengklaim tidak ada. Bahkan, ia menegaskan negara tidak akan terbebani jika harus mengalokasikan APBN untuk parpol.
Sebab, ia menilai parpol merupakan institusi yang akan memproduksi kepala daerah, anggota parlemen, hingga presiden.
"Maka tidak apa-apa negara berkontribusi besar untuk kemudian menyehatkan partai agar
outputnya pejabat-pejabat publik yang akan diusulkan oleh partai akan lebih baik," ujarnya.
 Ilustrasi partai politik. (CNN Indonesia/Andry Novelino). |
Reformasi Tata KelolaDi sisi lain Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mendesak parpol melakukan reformasi tata kelola lebih dulu sebelum menuntut pembiayaan dari negara. Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan parpol harus menerapkan prinsip-prinsip tata kelola parpol yang sehat dan demokratis.
"Menurut saya rekomendasi untuk membiayai parpol dari APBN ini tak bisa dilakukan buru-buru tanpa terlebih dahulu menerapkan prinsip-prinsip tata kelola parpol yang sehat dan demokratis," ujar Lucius.
Lucius menuturkan pembiayaan parpol secara penuh lewat APBN tanpa adanya reformasi tata kelola internal parpol justru akan menimbulkan masalah baru. Ia berkata dana APBN akan sia-sia jika parpol belum menerapkan tata kelola kelembagaan yang sehat dan bersih.
Lucius menjelaskan pembicaraan pembiayaan parpol harus selaras dengan pembahasan mengenai reformasi parpol agar budaya korupsi kadernya tidak terus terpelihara. Sebab, ia melihat pembiayaan parpol di tengah oligarki parpol yang terjadi saat ini hanya akan melanggengkan kader melakukan korupsi dan parpol tetap tidak akan bisa demokratis.
Korupsi, kata dia, hanya efek paling menonjol dari tata kelola parpol yang oligarki. Oligarki ini merupakan penyakit akut sesungguhnya yang dialami parpol selama ini.
"Penyakit akut parpol sesungguhnya adalah kondisi oligarki itu. Oligarki itu yang menegasikan tata kelola parpol selama ini yang cenderung tidak demokratis," ujar Lucius.
Terkait hal itu, Lucius juga meminta parpol memaknai transparansi dan akuntabilitas sebagai sebuah sikap, bukan sekadar formalitas prasyarat agar dapat dibiayai secara penuh oleh APBN. Parpol, kata dia, harus dapat menunjukkan sikap transparansi dan akuntabilitas itu sejak saat ini.
"Mereka tak bisa menjadikan transparansi dan akuntabilitas itu sekadar jargon saja agar keinginan membiayai parpol oleh APBN bisa segera diwujudkan," ujarnya.
Di sisi lain, Lucius melihat hingga kini parpol tak mampu membuktikan bahwa keterbatasan dana menjadi penyebab kadernya korupsi. Ia justru menilai klaim keterbatasan dana hanya cara parpol agar masyarakat memaklumi para politikus terpaksa korupsi.
"Kalau benar dana terbatas maka parpol harus bisa menyodorkan bukti keterbatasan dana seperti apa yang mereka alami," kata dia.
"Ini agar kebijakan membiayai parpol tak semata-mata dilakukan hanya untuk mencegah terus berulangnya korupsi, tetapi juga agar demokrasi sungguh-sungguh menjadi sistem yang benar-benar dipraktikkan," ujar Lucius.
(jps/osc)