Beda Putusan soal Pencalegan OSO, UU MK Digugat

CNN Indonesia
Kamis, 06 Des 2018 14:26 WIB
Terkait putusan soal OSO, Anggota DPD Muhammad Hafidz menggugat UU MK karena dianggap tak detail mengatur bahwa peradilan lain harus patuh pada putusannya.
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Jawa Barat, Muhammad Hafidz, mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK). Ia merasa dirugikan dengan perbedaan putusan terkait larangan pengurus partai politik menjadi anggota DPD antara MK dan Mahkamah Agung (MA).

Hafidz kali ini menggugat pasal 57 ayat (1) Undang-undang 24 Tahun 2003 tentang MK. Pasal ini menyebutkan bahwa perundangan yang diputus bertentangan dengan UUD 45 oleh MK tak punya kekuatan hukum mengikat.

Dalam permohonannya, Hafidz merasa dirugikan dengan perbedaan putusan MK dengan Mahkamah Agung (MA) soal larangan pengurus parpol menjadi anggota DPD tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Pada Juli lalu, MK telah mengabulkan gugatan Hafidz bahwa DPD tidak boleh diisi pengurus parpol. Atas putusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku lembaga yang berwenang, menerbitkan peraturan tentang syarat pengunduran diri bagi bakal calon anggota DPD dari kepengurusan parpol.

Di sisi lain, pendaftaran pencalonan DPD saat itu telah berjalan. Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) turut mendaftarkan diri sebagai caleg DPD.

OSO pun menggugat peraturan KPU tersebut ke MA. Ia juga menggugat penetapan Daftar Calon Tetap (DPT) anggota DPD oleh KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO).Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO). (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Namun berbeda dengan putusan MK, putusan MA dan PTUN justru mengabulkan gugatan dan mengizinkan OSO untuk tetap mendaftar sebagai caleg DPD.

Hafidz menilai perbedaan putusan itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi untuk dilanggar.

"Akibatnya pemohon mengalami kerugian konstitusional," ujar Hafidz seperti dikutip dari permohonan berkas perkara yang disidangkan MK, Kamis (6/12).

Menurut Hafidz, pihak mana pun semestinya mematuhi putusan MK tersebut. Sebab, merujuk pada ketentuan UUD 1945 telah menyatakan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

Terlebih dalam pasal 57 ayat (1) UU MK yang ia gugat juga telah menjelaskan bahwa materi muatan ayat, pasal, atau bagian UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK, harus dianggap tidak punya kekuatan hukum mengikat lagi.

Hanya saja, kata dia, pasal tersebut belum menjelaskan secara rinci bahwa lembaga peradilan lain harus ikut mematuhi putusan MK tersebut. Akibatnya, muncul perbedaan putusan antara MA maupun PTUN dengan MK terkait larangan pengurus parpol menjadi anggota DPD tersebut.

Gedung Mahkamah Agung.Gedung Mahkamah Agung. (Foto: Adhi WIcaksono)
"Pada tataran normatif, putusan MK harus mengikat seluruh subjek hukum termasuk MA sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman," terangnya.

Hafidz merupakan pihak yang menggugat UU Pemilu yang mengatur tentang syarat menjadi anggota DPD. Dalam pasal 182 huruf I menjelaskan bahwa untuk menjadi anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, pekerjaan penyedia barang dan jasa, serta pekerjaan lain.

Frasa 'pekerjaan lain' itu yang digugat Hafidz karena merasa pengurus parpol juga termasuk jenis pekerjaan yang tidak boleh merangkap sebagai anggota DPD.

KPU sendiri pada Selasa (4/12) kemarin, telah memutuskan untuk mematuhi putusan MK, alih-alih mengikuti putusan MA terkait larangan tersebut.

Artinya, OSO tetap harus mengundurkan diri sebagai caleg DPD karena masih menjabat sebagai pimpinan Hanura. Namun KPU masih mengkaji aturan yang tepat terkait waktu pengunduran diri OSO.

(arh)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER