PERISKOP 2019

Tahun Politik dan Tensi Panas 2019

CNN Indonesia
Kamis, 27 Des 2018 15:09 WIB
Tahun 2018 dianggap belum seberapa panas dibanding tahun 2019 terkait dengan digelarnya Pemilihan Umum. Kampanye hitam dan isu SARA masih akan dimainkan.
Parpol Koalisi Pendukung Jokowi Bertemu di Restoran Plataran. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Dinamika kampanye Pilpres 2019 di tahun 2018 ini turut diwarnai dengan aksi membelotnya beberapa kader PAN dan Demokrat yang mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

PAN dan Demokrat sendiri telah resmi bergabung ke dalam gerbong koalisi Prabowo-Sandiaga Uno di Pilpres 2019.

Beberapa yang mendukung Jokowi-Ma'ruf dari Partai Demokrat diantaranya ialah Gubernur Papua Lukas Enembe. Gubernur Jawa Timur Soekarwo juga disebut mendukung Jokowi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan, PAN sendiri turut menyumbangkan pengurus DPW PAN Kalimantan Selatan.

Banyaknya kader parpol yang membelot untuk mendukung kontestan capres lainnya itu diprediksi masih marak terjadi di masa kampanye Pilpres tahun depan.
Pengamat politik dari Populi Center, Usep S Ahyar mengatakan secara legal formal, komposisi koalisi partai politik di kedua kubu, baik Jokowi dan Prabowo tak akan berubah.

Meski begitu, ia mengatakan kondisi internal masing-masing partai politik saat ini bisa dipastikan tak ada yang solid jelang Pilpres 2019.

Kondisi itu akan memunculkan banyaknya kader 'kutu loncat' yang membelot mendukung kandidat capres-cawapres tertentu sehingga tak sejalan dengan sikap resmi partai.

"Hasil analisis kita bahwa partai-partai itu tak solid sesungguhnya untuk mendukung capres tertentu, walaupun ia masih secara legal formal di koalisi tertentu. Sehingga ke depan akan banyak kader yang jadi 'kutu loncat' dukung yang lain," kata Usep saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Usep menilai hal itu wajar terjadi karena Pilpres 2019 digelar serentak dengan pelaksanaan Pemilihan legislatif.

Ia memperkirakan ada perbedaan strategi dan pandangan politik antara elite parpol di daerah dan di pusat dalam mendukung kandidat capres tertentu di Pilpres.

"Di beberapa wilayah partai-partai itu akan berfikir ulang, bagaimana membangun strateginya, karena tak semua wilayah pilihan pilpres dan pilihan caleg itu sama, pasti ada di wilayah A Jokowi yang kuat pasti caleg-caleg parpol koalisi Prabowo dukung Jokowi," kata dia.

Lebih lanjut, Usep menilai hanya beberapa partai politik saja yang diperkirakan solid dalam mendukung kandidat capres-cawapres yang diusungnya.

Ia mencontohkan PDIP sebagai parpol utama pengusung Jokowi dan Gerindra sebagai parpol pengusung Prabowo yang masih solid di gelaran Pilpres.

"Sisanya, di internal parpol lainnya, baik yang dukung Jokowi dan Prabowo itu masih mengambang kader-kadernya, belum solid betul," ungkapnya.
Lebih lanjut, Usep menyoroti secara khusus akan lebih banyak kader PAN dan Demokrat bakal membelot mendukung Jokowi-Ma'ruf di gelaran kampanye tahun depan.

Sebab, kedua parpol itu belum memilki institusionalisasi parpol yang kuat dalam merekatkan dan mendisiplinkan kader-kadernya di berbagai daerah.

"Mereka saja kan sudah pecah, ke depannya pasti lebih banyak," ungkapnya.

Panasnya gelaran Pilpres 2019 tahun depan diperkirakan akan berlanjut hingga penentuan hasil rekapitulasi perhitungan suara oleh KPU.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno memprediksi selisih suara dua pasang kandidat di Pemilu presiden 2019 akan memiliki perbedaan yang tipis dibandingkan Pilpres 2014 lalu.

Diketahui, pada Pilpres 2014 lalu pasangan Jokowi - Jusuf Kalla unggul dengan suara sebesar 70.997.833. Sedangkan lawannya, Prabowo - Hatta Rajasa yang mendapatkan suara hanya 62.576.444. selisih keduanya sekitar 8.421.389.

"Prediksi saya apalagi nanti selisih suaranya tipis, enggak tinggi, seperti 2014 lalu," kata Adi.

Adi menilai tipisnya selisih hasil suara kedua kandidat itu tak lepas dari hasil survei yang digelar beberapa waktu belakangan.

Ia mengatakan kubu Jokowi-Ma'ruf seharusnya patut mewaspadai angka elektabilitas yang dimilikinya berdasarkan hasil survei beberapa waktu lalu.

Pasalnya, angka rata-rata elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf dari berbagai lembaga survei yang hanya stagnan di angka 50-55 persen. Padahal, kata dia, Jokowi memiliki tingkat kepercayaan publik sebesar 70 persen.

"Angka itu artinya memang rawan, harusnya dengan kepercayaan lublik 70 persen, elektabilitas [Jokowi] bisa 60 persen. Sebaliknya, Prabowo-Sandiaga sekarang bisa merangkak naik, makanya akan unggul tipis nanti," kata dia.

Apabila itu terjadi, Adi memprediksi kubu Capres yang mengalami kekalahan akan menggugat hasil pemilu presiden ke Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia menyatakan kubu yang mengalami kekalahan akan berdalih bahwa Pilpres 2019 telah terjadi dugaan kecurangan secara sistematis, struktural, dan masif.

"Gugatan sengketa Pemilu ke MK cukup terbuka, seperti Pilpres 2014 lalu ketika kubu Prabowo-Hatta menggugat hasil pemilu ke MK, makanya MK perlu mengantisipasi gugatan yang akan dilayangkan oleh kubu yang kalah Pilpres," kata Adi.

Lebih lanjut, Adi menilai potensi gugatan ke MK semakin besar apabila Prabowo-Sandiaga yang mengalami kekalahan di Pilpres.

Sebab, kata dia, kubu Prabowo-Sandiaga saat ini sudah menyusun narasi bahwa kubu mereka yang paling tertindas oleh kubu petahana ketika mengikuti Pilpres kali ini.

"Karena ada tudingan dari kubu Prabowo, ada e-KTP tercecer, ada DPT tercerai berai, soal kotak suara kardus, jadi siapapun yang menang alasannya bisa direkayasa," kata dia.
(ugo/rzr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER