
Debat Capres, KontraS Minta Calon Sampaikan Sikap Terkait PKI
CNN Indonesia | Sabtu, 12/01/2019 02:27 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berharap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berlaga dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang bisa memaparkan pandangan dan langkah apa yang akan dilakukan terhadap kelompok Ahmadiyah, LGBT, serta eks keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI) pada debat 17 Januari mendatang.
Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan paparan tersebut penting karena kelompok minoritas tersebut kerap mengalami tindakan yang kurang mengenakkan di Indonesia. Para pasangan calon presiden dan wakil presiden diharapkan menjelaskan apa yang akan dilakukan jika terpilih dalam rangka memberikan pemenuhan HAM terhadap kelompok minoritas.
"Kami tidak ingin debat nanti hanya normatif dan retoris, bicara umum dan debat kusir. Makanya harus diuji dengan HAM yang kontekstual dan dibutuhkan publik," ucap Yati di kantor KontraS, Jakarta, Jumat (11/1).
Yati menjelaskan bahwa penyelesaian kasus HAM berat masa lalu masih belum tuntas. Termasuk kasus pelanggaran HAM terhadap eks anggota PKI yang belum diselesaikan Kejaksaan Agung.
Menurut Yati, hal itu mesti dipaparkan dalam debat. Apa yang akan dilakukan masing-masing pasangan calon. "Isu ini harus dijelaskan secara khusus untuk menguji komitmen kedua paslon. Persoalan ini seharusnya bisa dijawab," ucap Yati.
Yati juga melihat kalangan Ahmadiyah dan LGBT masih mengalami penindasan di sejumlah daerah. Pemenuhan HAM terhadap mereka masih diabaikan. Oleh karena itu, dia menganggap pasangan calon perlu memaparkan apa yang akan dilakukan jika terpilih.
"Sampai hari ini menjadi masalah siapapun presidennya," imbuh Yati.
Soal lain yang disoroti Yati yakni perihal penerapan hukuman mati. Yati menganggap capres dan cawapres harus menjabarkan pandangannya terkait hal itu. Apakah akan tetap menerapkan atau menghapuskan ketika hukuman itu sudah semakin ditinggalkan oleh banyak negara lain.
"Tapi RKUHP kita masih menempatkan hukuman mati sebagai salah satu model hukuman pidana. Lalu, praktik-praktik penyiksaan juga termasuk," kata Yati.
Yati menganggap reformasi di institusi keamanan juga perlu dipaparkan masing-masing calon presidnen dan wakilnya. Dia menganggap ada peristiwa-peristiwa yang relevan untuk dijadikan referensi.
Misalnya, ketika militer inisiatif menyita buku-buku berbau komunis. Menurutnya, itu bentuk militer belum tunduk terhadap otoritas sipil sepenuhnya. ""Padahal, itu sama sekali bukan wewenangnya. Ini menunjukkan reformasi keamanan belum bisa dijalankan di bawah otoritas sipil," katanya.
(bmw/agt)
Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan paparan tersebut penting karena kelompok minoritas tersebut kerap mengalami tindakan yang kurang mengenakkan di Indonesia. Para pasangan calon presiden dan wakil presiden diharapkan menjelaskan apa yang akan dilakukan jika terpilih dalam rangka memberikan pemenuhan HAM terhadap kelompok minoritas.
"Kami tidak ingin debat nanti hanya normatif dan retoris, bicara umum dan debat kusir. Makanya harus diuji dengan HAM yang kontekstual dan dibutuhkan publik," ucap Yati di kantor KontraS, Jakarta, Jumat (11/1).
Yati menjelaskan bahwa penyelesaian kasus HAM berat masa lalu masih belum tuntas. Termasuk kasus pelanggaran HAM terhadap eks anggota PKI yang belum diselesaikan Kejaksaan Agung.
Menurut Yati, hal itu mesti dipaparkan dalam debat. Apa yang akan dilakukan masing-masing pasangan calon. "Isu ini harus dijelaskan secara khusus untuk menguji komitmen kedua paslon. Persoalan ini seharusnya bisa dijawab," ucap Yati.
Yati juga melihat kalangan Ahmadiyah dan LGBT masih mengalami penindasan di sejumlah daerah. Pemenuhan HAM terhadap mereka masih diabaikan. Oleh karena itu, dia menganggap pasangan calon perlu memaparkan apa yang akan dilakukan jika terpilih.
"Sampai hari ini menjadi masalah siapapun presidennya," imbuh Yati.
Soal lain yang disoroti Yati yakni perihal penerapan hukuman mati. Yati menganggap capres dan cawapres harus menjabarkan pandangannya terkait hal itu. Apakah akan tetap menerapkan atau menghapuskan ketika hukuman itu sudah semakin ditinggalkan oleh banyak negara lain.
"Tapi RKUHP kita masih menempatkan hukuman mati sebagai salah satu model hukuman pidana. Lalu, praktik-praktik penyiksaan juga termasuk," kata Yati.
Yati menganggap reformasi di institusi keamanan juga perlu dipaparkan masing-masing calon presidnen dan wakilnya. Dia menganggap ada peristiwa-peristiwa yang relevan untuk dijadikan referensi.
Misalnya, ketika militer inisiatif menyita buku-buku berbau komunis. Menurutnya, itu bentuk militer belum tunduk terhadap otoritas sipil sepenuhnya. ""Padahal, itu sama sekali bukan wewenangnya. Ini menunjukkan reformasi keamanan belum bisa dijalankan di bawah otoritas sipil," katanya.
ARTIKEL TERKAIT

KontraS Kritik Niat Prabowo-Sandi Ungkit Kasus Novel di Debat
Nasional 1 bulan yang lalu
Ma'ruf Amin Nyatakan NU Sepenuh Hati Dukung Jokowi di Pilpres
Nasional 1 bulan yang lalu
Bawaslu Bogor Putuskan Pose Dua Jari Anies Bukan Pelanggaran
Nasional 1 bulan yang lalu
KPU Persilakan Prabowo-Sandi Baca Visi Misi Revisi Saat Debat
Nasional 1 bulan yang lalu
Bocoran Debat KPU, Tim Jokowi Sebut Banyak Pertanyaan Menarik
Nasional 1 bulan yang lalu
Fadli Zon Minta Jokowi Tak Klaim Dana Desa sebagai Prestasi
Nasional 1 bulan yang lalu
BACA JUGA

Kenali Sosok Capres dan Anggota Dewan Lewat Pintarmemilih.id
Teknologi • 20 February 2019 14:33
Raffi Ahmad-Nagita Slavina Bikin Vlog bersama Ma'ruf Amin
Hiburan • 20 February 2019 06:16
Candu Hoaks Juga Menyasar Orang Berpendidikan Tinggi
Teknologi • 19 February 2019 15:16
Selain Literasi Digital, Tekan Hoaks Pakai Stimulasi Otak
Teknologi • 20 February 2019 09:18
TERPOPULER

Fadli Zon Tuding Kasus Dhani Operasi Politik Gerus Kubu 02
Nasional • 1 jam yang lalu
Polisi Mojokerto Sebut Jenazah yang Ditolak Akan Dipindah
Nasional 2 jam yang lalu
Malam Munajat 212 Diwarnai Kericuhan
Nasional 7 jam yang lalu