Jakarta, CNN Indonesia -- Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Novel Baswedan meyakini ada beberapa bukti pokok yang hilang dalam kasus penyiraman air keras kepada dirinya.
"Dalam perkara penyerangan kepada saya ada beberapa bukti pokok yang sudah hilang," kata Novel saat diwawancara
CNN Indonesia TV, Selasa (15/1).
"Pertama adalah bukti terkait sidik jari pada botol, bukti di gelas, dan kemudian CCTV di sekitar tempat saya tinggal dan bukti elektronik lain yang saya yakini sudah hilang," ujar Novel melanjutkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novel mengatakan seharusnya tim gabungan bentukan Kapolri Jenderal Tito Karnavian memulai penyelidikan dan penyidikan kasusnya dari bukti-bukti yang ia yakini telah hilang itu.
Namun dia mengaku tak melihat ada upaya tim gabungan ke arah itu. Sebaliknya, Novel merasa tim gabungan justru menempatkan dirinya sebagai pijakan awal penyelidikan dan penyidikan.
"Saya melihat sejak awal penyidik justru mau tanya ke saya siapa sih jenderal yang dimaksud, apa sih motif dari penyerangan kepada saya," kata Novel.
Menurut Novel upaya yang ditempuh itu aneh. Dia menyebut belum pernah ada perkara kejahatan jalanan yang diyakini dilakukan terorganisir, sistematis dan ada
backup orang kuat tapi pembuktian dimulai dari motifnya.
"Apabila kesalahan-kesalahan itu, yang oleh Komnas HAM mungkin disebut abuse of procces itu tidak dijadikan titik tolak untuk melihat proses yang akan diperiksa, lalu tim mau mulai dari mana? Itu yang jadi pertanyaan," kata dia.
Novel pun mengaku ragu tim bentukan Tito Karnavian mampu mengungkap kasus yang menimpa dirinya. Novel juga merasa langkah yang ditempuh tim gabungan dengan menanyakan motif dan jenderal yang membekingi kasusnya akan memberatkan dirinya.
"Tapi saya sudah sampaikan kepada rekan-rekan KPK yang diikutkan dalam tim bahwa saya akan beri keterangan dengan syarat tim mau berkomitmen membuka semua teror kepada pegawai KPK lain yang tidak pernah diungkap sama sekali dan itu semua ada bukti-buktinya," ujar Novel.
Keraguan Novel juga berdasarkan orang-orang yang direkrut dalam tim itu. Dengan jumlah 65 orang, Novel menyebut tim gabungan bentukan Tito terlalu banyak. Sementara dari sisi orang-orang yang ditunjuk, menurut Novel Polri kurang membuka diri.
Dia berujar tim itu lebih banyak mengambil dari staf ahli Kapolri, kepolisian, dan tim asistensi KPK. Seharusnya, kata Novel, Polri membuka diri dengan merekrut orang-orang dari luar.
"Karena dengan itu (membuka diri) kita akan melihat kepercayaan dan saya melihat ada bentuk kepekaan. Tapi saya melihat tak ada kepekaan di sana," ujar Novel.
(wis/gil)