Jakarta, CNN Indonesia --
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pembebasan terpidana terorisme Abubakar Ba'asyir berpotensi digugat jika mekanismenya tak sesuai aturan.
Merujuk pada Peraturan Menkumham nomor 3 tahun 2018 pasal 84 menyebutkan bahwa mantan narapidana terorisme wajib menandatangani pernyataan taat pada Pancasila dan tidak mengulangi tindak pidananya. Sementara Ba'asyir menolak untuk menandatangani pernyataan itu karena hanya ingin setia kepada Allah dan tidak akan mematuhi aturan atau ideologi lain.
"Saya tidak tahu perkembangannya, tapi ini masih pembahasan. Kalau tidak memenuhi aspek hukum, ya agak sulit juga. Kapan hari orang akan gugat itu," ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta, Selasa (22/1).
JK mengatakan ketaatan pada Pancasila telah menjadi syarat mutlak bagi narapidana terorisme yang ingin bebas. Hal itu pun berlaku bagi narapidana yang mengajukan grasi kepada presiden. Ia juga tak sepakat dengan alasan Ba'asyir bahwa setia pada Islam sama dengan setia pada Pancasila. "Itu kan berbeda. Kalau Islam sesuai Pancasila baru bisa seperti itu. Tapi ini kan Pancasila sesuai dengan Islam, artinya tidak melanggar. Tapi ini masih dikaji, jadi saya tidak bisa mengatakan apa-apa," katanya.
Rencana pembebasan Ba'asyir diklaim JK semata alasan kemanusiaan. Usia Ba'asyir yang terbilang lanjut menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membebaskan mantan pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia itu.
JK pun menampik tudingan sejumlah pihak yang khawatir terkait masalah keamanan jika Ba'asyir dibebaskan.
"Saya kira sudah (sekitar) delapan tahunlah di penjara. Tentu tidak apa, bukan soal takut tapi kemanusiaan ini supaya beliau di saat akhir hidup tenanglah," ucap JK.
Kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya) |
Di sisi lain, JK menyatakan pemerintah Indonesia tak akan terpengaruh dengan keberatan Perdana Menteri Australia Scott Morrison terkait pembebasan Ba'asyir.
"Kita tidak mempertimbangkan keberatan negara lain. Sama dengan Australia juga tidak sependapat soal Yerusalem," katanya. Pemerintah Australia sebelumnya menyampaikan keberatan atas pembebasan Ba'asyir yang dikenal sebagai otak peristiwa Bom Bali I karena menyebabkan ratusan warga Australia tewas sebagai korban.
Presiden Joko Widodo sebelumnya juga telah menyatakan bahwa Ba'asyir harus memenuhi syarat untuk setia pada NKRI dan Pancasila jika ingin bebas. Sebab, jenis pembebasan yang akan diberikan merupakan pembebasan bersyarat, bukan murni.
Pada 2011, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Ba'asyir 15 tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme. Setelah menjalani delapan tahun hukuman bui, muncul rencana membebaskan Ba'asyir karena alasan kemanusiaan. Menko Polhukam Wiranto mengatakan pemerintah masih mengkaji berbagai aspek sebelum memberikan pembebasan bersyarat kepada Ba'asyir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(psp/pmg)