Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
Wiranto, Selasa (22/1) melepaskan tiga cuitan melalui akun Twitternya, @wiranto1947. Tiga cuitan itu merespons pemberitaan tentang rencana pembebasan terpidana kasus terorisme
Abu Bakar Ba'asyir.
Dalam cuitannya, Wiranto menyatakan keluarga Abu Bakar Ba'asyir telah mengajukan permintaan pembebasan sejak tahun 2017 karena pertimbangan usia lanjut dan kesehatan Ba'asyir yang semakin memburuk.
Kata Wiranto, atas dasar pertimbangan kemanusiaan, Presiden Joko Widodo sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun, tentunya masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI Hukum, dan lain sebagainya.
"Oleh karena itu, presiden memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian secara lebih mendalam dan komprehensif guna merespons permintaan tersebut," kata Wiranto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Isu tentang pembebasan Abu Bakar Ba'asyir yang menggelinding sejak Jumat (18/1) menjadi 'bola liar' setelah pernyataan Wiranto yang menyatakan akan mengkaji kembali pembebasan pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo itu.
Bola liar tentang pembebasan Ba'asyir bermula ketika Yusril Ihza Mahendra yang berstatus Penasihat Hukum pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendatangi Lapas Gunung Sindur, Bogor.
Di sana Yusril mengatakan bahwa dia telah ditugaskan oleh Presiden Jokowi untuk mengumpulkan data, mengamati, upaya pembebasan Ba'asyir. Kata Yusril, seharusnya pembebasan Ba'asyir bulan Desember 2018 tapi karena belum ada kesepakatan dan terkendala berbagai peraturan, dan syarat, maka kemungkinan Ba'asyir baru bisa dibebaskan Januari.
Di hari yang sama, saat kunjungannya ke Garut, Jawa Barat, Jokowi pun menyinggung soal rencana pembebasan Ba'asyir itu.
"Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan, artinya Beliau kan sudah sepuh (tua). Ya pertimbangannya pertimbangan kemanusiaan. Karena sudah sepuh. Termasuk ya tadi kondisi kesehatan," kata Jokowi seusai meninjau Pondok Pesantren Darul Arqam, di Garut, Jumat (18/1).
Tapi, di tengah rencana pembebasan Ba'asyir, muncul persoalan. Ba'asyir enggan memenuhi syarat pembebasan bersyarat yakni menandatangani janji setia kepada Pancasila. Hal itu diduga menjadi sebab Menko Polhukam Wiranto melontarkan pernyataan akan mengkaji ulang pembebasan bagi Ba'asyir.
Faktanya, hingga Rabu (22/1) belum ada keputusan tentang pembebasan Ba'asyir. Tak hanya keluarga Ba'asyir, masyarakat pun bertanya, apakah Ba'asyir batal bebas? Bola liar kini ada di tangan Jokowi.
Berdasarkan pasal 43 A poin c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme harus memenuhi syarat telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar: 1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau 2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
 Yusril Ihza Mahendra menjenguk Abubakar Baasyir di LP Gunung Sindur. (Dok. Istimewa) |
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan Presiden Joko Widodo harus memiliki landasan untuk membebaskan Ba'asyir. Jadi, jika Ba'asyir bebas tanpa landasan hukum, maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum.
"Jika tidak ada landasannya, ini akan mengacaukan sistem, artinya meski dengan pertimbangan kemanusiaan tetap harus ada landasannya, jika tidak, Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi," katanya kepada
CNNIndonesia.com.Jokowi, katanya, harus membuat landasan hukum, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Perpres atau Peraturan Menteri Hukum dan HAM sebagai dasar tindakannya.
"Agar tidak menimbulkan kesan semaunya demi tujuan tertentu, misalnya politik," kata dia.
Jokowi, selaku presiden bisa memerintahkan jajarannya, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM untuk membebaskan seorang narapidana berdasarkan peraturan perundangan yang mengatur hak-hak narapidana, seperti remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, dan pembebasan bersyarat.
Kata Fickar, Jokowi harus berhitung cermat, jangan hanya pertimbangan elektabilitas lantas menabrak seluruh aturan untuk membebaskan Ba'asyir.
 Yusril Ihza Mahendra menjenguk Abubakar Baasyir di LP Gunung Sindur. (Dok. Istimewa) |
Menurut dia, ada cara selain 'pembebasan bersyarat' untuk menyiasati pembebasan Ba'asyir yang tidak ingin menandatangani syarat sebuah 'Pembebasan Bersyarat' seperti diatur dalam PP 99/2012, yakni dengan skema 'amnest'i atau 'bebas tanpa syarat'.
"Lembaga amnesti yang bisa digunakan, tanpa permintaan Ba'asyir, Presiden bisa mengampuni dengan amnesti membatalkan putusan yang telah ada," katanya.
Tapi, bila menggunakan skema amnesti, akibatnya Baasyir akan dianggap tidak bersalah. "Atau jika akan memakai skema 'bebas tanpa syarat' harus dibuat dasar hukum baru setaraf dengan UU, karena bebas bersyarat saja pakai UU," katanya.
Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakir justru mempertanyakan kapasitas Yusril yang begitu gencar melompati kewenangan Kementerian Hukum dan HAM karena sejak awal terlalu aktif dalam upaya pembebasan Ba'asyir.
"Ini menjadi tanda tanya besar, seharusnya Ditjen Pemasyarakatan di bawah Kemenkum HAM yang berwenang untuk mengumumkan tentang kondisi kesehatan Abu Bakar Ba'asyir bukan Yusril," katanya.
Ditjen PAS dan Menkum Ham, kata Muzakir, harus segera mengeluarkan rekomendasi, misalkan, "karena kondisi narapidana atas nama Abu Bakar Ba'asyir maka yang bersangkutan dibebaskan..."
Tapi, selama ini, kabar pembebasan hanya bersumber dari Yusril.
"Itu melebihi kewenangan Kemenkum HAM, padahal sampai saat ini belum ada rekomendasi dari Ditjen PAS atau Kemenkum HAM," katanya. "Penegakan hukum harus jelas."
Terkait posisi hukum Ba'asyir, Muzakir menjelaskan, Ba'asyir berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa tahanan. Ba'asyir dijatuhi hukuman 15 tahun penjara pada tahun 2011 karena terlibat kasus pelatihan terorisme di Jantho, Aceh.
"Kalau dihitung telah mendekati pembebasan bersyarat dan demi hukum harus dibebas bersyarat," katanya.
Kata dia, syarat tentang penandatangan janji setia kepada Pancasila dan NKRI bisa dikesampingkan dengan alasan kemanusiaan.
Selama ini Ba'asyir berpandangan melaksanakan Agama Islam berarti melaksanakan Pancasila. Hal itu bisa menjadi pertimbangan tersendiri, mengingat sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa.
"Jangan sampai hanya karena Pancasila seseorang tidak bisa mendapatkan pembebasan bersyarat, bukankah sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Lalu, melihat kondisi Ba'asyir," kata Muzakir. "Dan pemerintah tak membebaskan, justru orang tersebut yang tak beradab dan justru dia yang wajib menandatangani janji setia Pancasila."