Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah organisasi kemasyarakatan menyatakan sikap tidak memilih saat
pemilu atau golongan putih (golput) merupakan hak dan bukan tindak pidana. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menegaskan tidak memilih atau golput merupakan salah satu pilihan politik masyarakat.
"Golput adalah salah satu ekspresi bentuk kedaulatan rakyat. Warga negara menentukan sikap dan ekspresi politiknya. Memilih bukan harus satu atau dua. Opsi tidak memilih adalah pilihan dan ini bagian ekspresi kedaulatan rakyat," kata Arif di Gedung YLBHI, Rabu (23/1).
Hal itu disampaikan dalam diskusi
Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana yang dihadiri ICJR, KontraS, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dan YLBHI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Golput, kata Arif, dilindungi konstitusi. Hal itu termaktub dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
"Setiap orang dijamin meyakini keyakinan bahkan sikap politiknya. Memilih tidak harus dimaknai satu atau dua. Banyak opsi," tuturnya.
Ia menyatakan memilih golput tidak dilarang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. UU Pemilu hanya melarang 11 hal seperti memberikan keterangan tidak benar terkait data pemilih dan dana kampanye.
Larangan lainnya adalah menghalangi jalannya pemilu, menyebabkan kehilangan hak pilih, serta menjanjikan sesuatu kepada pemilih untuk memilih salah satu calon atau tidak menggunakan hak pilihnya.
Advokat publik Alghiffari Aqsa berpendapat Pasal 510 UU Pemilu kerap disalahtafsirkan sejumlah pihak. Pasal itu mengatur hukuman bagi oknum yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.
Ia menjelaskan hak pilih pada dasarnya melekat pada setiap warga negara Indonesia. Kehilangan hak pilih, kata Alghi, berbeda dengan memilih untuk tidak memilih pasangan calon mana pun.
"Misalnya saya mengkampanyekan golput kemudian orang lain jadi golput. Itu kan ditentukan dan dipilih orang itu sendiri," tutur Alghi.
Serupa, Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat Muhammad Afif menilai golput bisa menjadi cara masyarakat memberi tahu kepada penguasa pasangan calon pemimpin yang ada tidak merepresentasikan pilihannya.
"Golput itu bagian partisipasi politik mendidik penguasa. Sehingga penguasa tahu rakyat ingin A, B, dan C. Golput bagian mengingatkan penguasa persoalan di masyarakat," ucap Afif.
Seluruh anggota ormas yang hadir menegaskan golput yang mereka bicarakan ialah orang atau pihak yang menjadikan golput sebagai pilihan politiknya dan bukan bagian yang apatis bahkan lebih memilih berlibur saat pemungutan suara.
Untuk itu koalisi ormas tetap mengimbau masyarakat ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya untuk golput. Hal itu disarankan demi mencegah hak suara disalahgunakan pihak tertentu.
(chri/wis)