Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KontraS) menyatakan bebasnya mantan Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merupakan momentum mengahapus pasal 156a KUHP tentang penodaan dan atau
penghinaan agama dalam rumusan
RKUHP.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani mengatakan pasal tersebut tidak memiliki penjelasan kualifikasi sebuah penistaan agama dan parameter yang jelas. Imbasnya, kata dia, tafsir sangat subjektif dan rentan digunakan untuk
mengkriminalisasi seseorang.
"Ini momentum dalam merefleksikan penggunaan pasal penodaan agama yang sudah menjerat banyak orang," ujar Yati dalam keterangan tertulis, Jumat (25/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yati menuturkan pemenjaraan terhadap Ahok menjadi pengingat bagi masyarakat dan penyelenggara negara bahwa siapapun dapat menjadi korban kriminalisasi dari pasal tersebut. KontraS mencatat, sejumlah orang yang pernah dipidana akibat pasal tersebut, yakni Lia Eden, Tajul Muluk, Ahmad Musadeq, Yusman Roy, Mangapin Sibuea, hingga Meliana.
Lebih lanjut, Yati membeberkan pertimbangan hakim di pengadilan dalam menjatuhkan vonis penjara kepada terdakwa kasus penodaan agama ditafsirkan dengan luas, mulai dari larangan mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina sebuah agama sampai larangan untuk menyebarkan kepercayaan yang dianggap sesat.
"Dengan subjektivitas dalam penggunaan pasal 156a KUHP tentang penodaan agama maka sudah sepatutnya momentum 'nasionalisasi' hukum pidana Indonesia dalam RUU tentang KUHP digunakan oleh pemerintah bersama DPR untuk mengevaluasi penerapan pasal penodaan agama," ujarnya.
 Lia Eden. (Gilang Fauzi) |
Di sisi lain, Yati menyampaikan KontraS mencatat kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama, berkeyakinan, dan beribadah (KBB) selalu mendominasi peristiwa pelanggaran-pelanggaran terhadap hak sipil dan politik di masyarakat.
Pada periode 2014-2018, Yati berkata, setidaknya terdapat 488 kasus pelanggaran terhadap KBB, dengan jumlah korban mencapai 896 peristiwa. Sementara pelaku pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan, lanjut Yati, terdiri dari sipil, ormas, hingga aparat penegak hukum, serta pemerintah.
"Kami juga mencatat setidaknya ada empat kebijakan diskriminatif yang dapat mendukung praktik-praktik intoleran," ujar Yati.
Adapun motif dasar yang mendominasi berbagai peristiwa itu, kata Yati, adalah agama dan politik. Motif agama tersebut sangat masif digunakan individu maupun ormas tertentu dalam melakukan upaya persekusi.
Yati merinci, upaya persekusi atas motif agama dimulai dari seperti pelarangan ibadah minoritas tertentu yang berujung dengan intimidasi, penyegelan tempat ibadah, pelarangan aktivitas atau kegiatan keagamaan, pengusiran paksa, stigmatisasi, hingga tindakan buruk serta diskriminatif lainnya.
Kebebasan belum dijamin negaraYati mengklaim pihaknya menyayangkan rumusan pasal 156a masih terdapat dalam draf RKUHP, baik dalam draf tanggal 28 Mei 2018 maupun 9 Juli 2018. Dalam draf yang dimiliki KontraS, rumusan pasal 156a tertuang dalam pasal 326 RKUHP.
Pasal 326 RKUHP menyebut yang menyebutkan 'setiap orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V'.
Yati mengatakan, rumusan pasal dalam RKUHP tersebut memang tidak lagi menggunakan diksi 'penodaan' sebagaimana digunakan dalam KUHP, namun diksi 'penghinaan' yang digunakan juga rentan akan penafsiran ekstensif yang nantinya dapat digunakan untuk mengkriminalisasi penganut agama minoritas.
"Dengan masih dicantumkannya rumusan pasal tersebut menunjukkan bahwa jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan berekspresi lainnya belum sepenuhnya mendapat jaminan dari negara, bahkan sudah berada di luar koridor penegakan hukum yang sepatutnya bertujuan untuk melindungi HAM warga negara," ujar Yati.
Terkait dengan hal itu, Yati mendesak pemerintah dan DPR menghapus materi muatan pasal penodaan dan atau penghinaan agama dalam rumusan RKUHP.
 Kasus perusakan rumah ibadah jemaat Ahmadiyah. (CNN Indonesia TV) |
Ia juga berkata aparat penegak hukum tidak mengkriminalisasi dan mempersekusi masyarakat atas nama penodaan atau penistaan agama. Apgakum, kata dia, harus memaksimalkan perlindungan bagi masyarakat,
Penindakan terhadap segala bentuk intoleransi, lanjut Yati, tidak boleh dilakukan oleh negara secara 'musiman'.
"Apalagi hanya karena adanya momentum politik maupun tujuan politik tertentu. Hal ini penting dipahami untuk mencegah agar peristiwa serupa tidak akan terulang kembali setiap tahunnya," ujar dia.
(jps/ain)