Jakarta, CNN Indonesia -- Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
Ali Mochtar Ngabalin mengatakan tak ada campur tangan pemerintah dalam kasus yang menjerat Juru Bicara
Front Pembela Islam (FPI)
Slamet Maarif.
Ngabalin meminta agar setiap kasus dugaan tindak pidana yang menyeret pihak oposisi tak dikaitkan dengan pemerintah ataupun Presiden
Joko Widodo. Menurut dia, saat ini sedikit-sedikit pemerintah kerap disebut melakukan kriminalisasi.
"Jangan sedikit-sedikit kemudian arahkan kepada presiden, pemerintah dan Istana mengintervensi. Enggak bener itu. Itu enggak boleh. Hari ini kok dikit-dikit kriminalisasi," kata Ngabalin saat dikonfirmasi
CNNIndonesia.com, Senin (11/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ngabalin menyatakan pernyataan Dewan Pembina Majelis Syuro Dewan Pimpinan Pusat FPI Habib Muhsin Al Attas, yang menyebut pemerintah tengah melakukan intervensi sekaligus rekayasa kasus Slamet adalah fitnah. Menurut Ngabalin fitnah tersebut harus pihaknya luruskan agar masyarakat tidak mendapat informasi yang keliru.
"Itu fitnah. Kalau kita tidak segera klarifikasi itu namanya sesat dan menyesatkan publik," ujarnya.
Lebih lanjut, Ngabalin meminta Slamet yang juga Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) itu untuk mengikuti proses hukum kasus dugaan pelanggaran kampanye di luar jadwa pemilihan umum (Pemilu) 2019. Dia menyebut Slamet harus siap dengan proses hukum yang dilakukan jajaran Polres Surakarta.
"Ikuti saja, ikuti proses hukum yang ada. Nanti kita lihat di mana ujungnya toh," kata dia.
Ngabalin menegaskan bahwa Polri termasuk KPU dan Bawaslu merupakan lembaga mandiri yang diatur undang-undang. Menurut politikus Partai Golkar itu pemerintah termasuk Jokowi tak bisa mengintervensi lembaga yang memiliki kewenangan melakukan proses hukum selama masa pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
"Sama sekali tidak ada sambung-menyambung antara pemerintah, istana, presiden," ujarnya.
Sebelumnya, Kapolres Surakarta Kombes Ribut Hari Wibowo membenarkan Slamet sudah ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran kampanye di luar jadwal.
Dalam surat panggilan bernomor S.Pgl/48/II/2019/Reskrim yang diterima oleh
CNNIndonesia.com, Slamet dipanggil sebagai tersangka kasus pelanggaran pasal 280 ayat (1) huruf a, b, d, e, f, g, h, i, j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal itu mengatur tentang kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Slamet terancam pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta sebagaimana diatur Pasal 492 UU Pemilu, atau penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp24 juta dalam Pasal 521 UU Pemilu.
Kasus tersebut terkait dengan orasi Slamet dalam acara Tabligh Akbar PA 212 Solo Raya, di Jalan Slamet Riyadi, depan kantor BCA KCU Solo-Slamet Riyadi, Gladak, Pasar Kliwon, Surakarta, pada Minggu (13/1).
Pengacara Slamet, Eggi Sudjana menegaskan ada kejanggalan dalam penetapan status tersangka tersebut. Menurut Eggi, dalam perspektif hukum, proses penetapan tersangka harus melalui tahap penyelidikan hingga penyidikan. Namun kenyataannya, pihaknya pun belum diminta polisi untuk gelar perkara.
Slamet sendiri menilai dirinya diperlakukan tidak adil oleh penegak hukum. Menurut dia, penetapan tersangka sebagai gambaran ketidakadilan hukum yang tersaji secara gamblang di negeri ini.
Sementara itu, Dewan Pembina Majelis Syuro DPP FPI Habib Muhsin Al Attas mengkritik cara pemerintah dalam penggunaan institusi hukum sebagai alat politik. Kritik disampaikan Muhsin Al Attas menyoroti status tersangka yang disematkan kepada Slamet.
"Rekayasa perkara dan ini ada intervensi penguasa. Kami prihatin, ini memalukan, memilukan," kata Muhsin.
Muhsin menilai dugaan rekayasa perkara tengah dipertontonkan penguasa kepada rakyat. Menurut dia, ini terbukti dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh lingkaran penguasa, namun justru menguap begitu saja.
(fra/dal)