Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi pemantau korupsi, Indonesia Corruption Watch (
ICW), mengkritisi penandatanganan mengkritisi penandatanganan perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (
Mutual Legal Assistance/MLA) antara pemerintah Indonesia dan
Swiss.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan perjanjian tersebut tak akan efektif jika tak dibarengi penerapan pemulihan aset (
asset recovery). Atas dasar itu, pihaknya khawatir penandatanganan MLA dengan Swiss itu pun hanya bersifat seremonial dan euforia belaka.
"Dalam kasus korupsi yang memang masih rapuh fondasinya, tidak meletakkan strategi asset recovery sebagai penegakan hukum, itu adalah strategi memiskinkan pelakunya," kata Adnan di kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis (14/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konsep MLA, kata Adnan, mempermudah pertukaran informasi terkait aset namun tindak lanjut untuk merampas aset pelaku tindak pidana korupsi ada di tangan Indonesia. Namun, itu tak didukung penerapan
asset recovery di Indonesia yang selama ini belum maksimal.
Asset recovery adalah upaya negara untuk mendapatkan kembali aset yang dikorupsi, dan/atau hasil dari aset yang dikorupsi pelaku tipikor.
"MLA itu tahap awal untuk melakukan penegakan hukum bagaimana agar
asset recovery itu menjadi inti," kata Adnan.
Adnan mencontohkan dalam pengusutan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini tidak dibarengi dengan pemulihan aset ke negara. Hal tersebut pun, sambungnya, berimbas pelaku tipikor tak dapat dimiskinkan dan masih mampu untuk 'membayar' kepentingan mereka seperti menyuap sipir, atau
Hal ini membuat pelaku tidak dimiskinkan dan masih mampu untuk membayar berbagai kepentingan mereka seperti untuk menyuap sipir demi fasilitas dan kemewahan selama menjalani hukuman.
Menkumham Yasonna Laoly mewakili Pemerintah Indonesia bersama Kepala Departemen Peradilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller Sutter mewakili Pemerintah Swiss, menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA), Bern, 4 Februari 2019. (Dok. Kementerian Hukum dan HAM RI) |
Traktat Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah PidanaMenyikapi hal tersebut, ICW menyarankan empat hal sebagai tindak lanjut dari perjanjian MLA yang sudah diteken pemerintah Indoensia dengan negara sahabat.
Pertama menuntut pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi traktat MLA untuk Tindakan Pidana. Kedua, membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) untuk Pemulihan Aset.
Tiga, menuntut Kementerian Hukum dan HAM untuk gencar menyosialisasikan mekanisme pengajuan MLA bagi para penegak hukum di dalam negeri.
Terakhir, menuntut penegak hukum menyadari dan mementingkan upaya pelacakan dan pengembalian aset dengan menyerahkan aturan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada setiap sangkaan atau dakwaan pelaku tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna H Laoly menandatangani MLA Indonesia dengan Swiss pada 4 Februari lalu.
Perjanjian MLA Indonesia-Swiss ini merupakan yang kesepuluh telah ditandatangani pemerintah dengan negara lain. Sembilan lainnya dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, China, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran.
Menyikapi hal tersebut, KPK mengapresiasi kerja sama yang ditandatangani dengan Swiss tersebut. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan penandatanganan MLA akan mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan, termasuk koruptor.
"Dengan semakin lengkapnya aturan internasional, maka hal tersebut akan membuat ruang persembunyian pelaku kejahatan untuk menyembunyikan aset hasil kejahatan dan alat bukti menjadi lebih sempit," ucap Jubir KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/2).
(ani/kid)