Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (
Bawaslu) Abhan mempertanyakan keputusan Polda Jateng menghentikan kasus dugaan pelanggaran pidana pemilu yang menjerat Ketua Presidium Alumni (PA) 212,
Slamet Maarif.
Abhan menyebut sebelumnya sudah ada kesepakatan antara Bawaslu, Polri, dan kejaksaan di Sentra Gakumdu bahwa ada dugaan pelanggaran pidana pemilu dalam kasus Slamet.
"Yang ideal bahwa ketika suatu kasus sudah dibahas sejak awal oleh tiga lembaga, mestinya tidak ada alasan kemudian balik SP3 (kasus dihentikan). Itu kenapa?" kata Abhan di Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (26/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abhan mempertanyakan sejak awal kepolisian menyebut ada bukti kuat, bahkan sudah menetapkan Slamet sebagai tersangka. Namun kasus dihentikan dengan alasan tersangka tidak bisa dihadirkan untuk dimintai keterangan.
Padahal, ucap Abhan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal
inabsensia. Kasus bisa dilanjutkam meski pihak terkait tidak memberikan keterangannya.
"Namanya tersangka itu tidak harus kemudian dikejar sebuah pengakuan, tetapi tugas penyidik dan penuntut umum bisa membuktikan atas fakta, alat bukti lainnya," tegas dia.
Sebelumnya, Polda Jateng menyetop perkara dugaan pelanggaran pidana pemilu yang melibatkan Ketua PA 212. Salah satu alasannya karena Slamet tidak bisa dimintai keterangannya hingga hari terakhir masa penyidikan kasus itu, 21 Februari 2019.
Karena itu saat ini status tersangka Slamet dinyatakan sudah gugur.
Slamet ditetapkan sebagai tersangka pada 11 Februari 2019 atas dugaan kampanye di luar jadwal. Slamet diduga melanggar diatur dalam Pasal 521 atau Pasal 492 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Kasus bermula saat Slamet berpidato Tablig Akbar PA 212 di Jalan Slamet Riyadi, kawasan Gladag, Solo, Jawa Tengah, Minggu (13/1/2019). Slamet melontarkan pernyataan soal rezim anti-Islam dan kampanye hitam.
(dhf/wis)