Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok masyarakat yang tidak memilih salah satu calon dalam pemilu atau golongan putih (
golput) mendapat perhatian serius pemerintah dan kubu petahana,
Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Angka golput berusaha ditekan pada
Pemilu 2019.
Saat berkunjung ke pondok pesantren di Muntilan, Jawa Tengah, Jokowi mengimbau para santri agar mengajak kerabat dan teman ke tempat pemungutan suara. Dia meminta tak ada satu orang pun yang golput karena pilihan warga menentukan masa depan.
Di kubu yang sama, cawapres Ma'ruf Amin bahkan menuding ada pihak yang ingin mempengaruhi orang lain agar golput. Ma'ruf juga mengingatkan bahwa MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa golput itu haram sejak 2009.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Menko Polhukam Wiranto menyebut orang yang mengajak golput sebagai pengacau pemilu. Mereka bisa dijerat dengan Undang-undang terorisme maupun UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU KUHP.
"Kalau UU Terorisme tidak bisa, undang-undang lain masih bisa, ada UU ITE, UU KUHP bisa," kata Wiranto, Rabu (27/3).
Sementara kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menilai golput juga disebabkan karena pemilih petahana kecewa dengan Jokowi yang tak merealisasikan janji saat pemilu sebelumnya.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menilai sikap kubu petahana yang ingin menekan angka golput tak lepas dari keinginan untuk menang mutlak. Dengan begitu, maka jalan Jokowi memimpin Indonesia lima tahun ke depan dapat lebih mulus.
Presiden Joko Widodo yang juga calon presiden nomor 01 pernah meminta para sopir truk untuk tidak golput pada Pilpres 2019. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Dia berkaca pada hasil Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla mengalahkan lawannya Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan selisih suara tipis. Jika selisih tipis itu terjadi lagi pada Pilpres 2019, Indria memperkirakan kubu Prabowo akan kembali menggugat.
"Beda satu persen pun memang menang, tapi dari pengalaman, untuk mendelegitimasi petahana, KPU, Bawaslu, polisi, dan sebagainya, ini bisa dijadikan alat untuk menunjukkan bahwa kubu Pabowo dikeroyok," kata Indria kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (27/3).
"Tapi kalau menangnya mutlak, susah dibawa ke MK (Mahkamah Konstitusi)," tambahnya.
Indria menilai angka golput yang mencapai 15-20 persen suara terbilang cukup besar. Keinginan inkumben untuk merebut suara golput, menurutnya, bersifat wajar. Namun ia berpendapat dengan tingkat golput sebesar itu, angka partisipasi pemilu nanti masih terbilang tinggi.
Sementara itu, salah satu pegiat golput, Alghiffari Aqsa mengatakan kubu petahana memang lebih reaktif menghadapi gelombang golput dibandingkan pihak Prabowo-Sandi.
Alghiffari memperkirakan reaksi itu timbul karena kubu petahana menghitung keberadaan golput akan berpengaruh pada menurunnya elektabilitas Jokowi-Ma'ruf.
Kendati demikian, mantan direktur LBH Jakarta itu menampik bahwa gerakan golput bertujuan menggembosi suara Jokowi. Pengikut golput yang makin tinggi justru menurutnya cerminan sistem pemilu yang makin membuat publik tidak berselera.
"Prabowo bukan opsi karena dia punya catatan buruk mengenai hak asasi manusia di '98. Ngapain kita ngurusin Prabowo," kata Alghiffari.
Pengacara publik ini juga mengomentari fatwa MUI terkait golput. Menurutnya, fatwa itu sebagai sesuatu yang sia-sia. Ia mengingatkan pada Pemilu 2014, angka golput cukup tinggi meskipun fatwa haram golput sudah dikeluarkan MUI sebelumnya.
Angka golput pada Pilpres 2009 berada sebesar 28,3 persen. Angka itu naik pada Pilpres 2014 menjadi 29,01 persen.
"Oleh karena itu fatwa golput haram yg keluar sebelum Pemilu 2014 tidak efektif menekan angka golput," ujarnya.
Ia memperkirakan angka golput pada Pemilu 2019 akan terus meningkat, mengingat sistem politik saat ini justru semakin buruk dan strategi kampanye yang dibangun cenderung merusak.
Alghiffari menekankan gerakan golput ini akan membawa keuntungan bagi masyarakat. Ia pun berharap para peserta pemilu, baik itu capres-cawapres maupun caleg, bakal terdorong lebih serius menjual program-programnya yang masuk akal kepada masyarakat.
Dalam waktu jangka panjang, keberadaan golput menurutnya dapat menjadi tolok ukur bagi sistem politik elektoral dalam negeri.
"Ketika golput semakin besar, kita jadi punya daya tawar. Mereka akan kehilangan legitimasi politik jadi mereka akan mencari apa perbaikan sistem yang bagus," ujar Alghiffari.
(bin/pmg)