Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan anggaran dan kesejahteraan prajurit
diyakini masih mewarnai materi
debat capres keempat, Sabtu (30/3) malam nanti, yang salah satunya mengangkat tema pertahanan. Namun isu kebangkitan Dwifungsi TNI yang belakangan mendapat sorotan luas juga patut diberi ruang tersendiri di atas panggung debat.
Kekhawatiran akan bangkitnya Dwifungsi TNI seperti era Orde Baru mencuat menyusul rencana pemerintahan Joko Widodo menempatkan perwira tinggi (Pati) dan menengah (Pamen) TNI ke dalam instansi sipil.
Pemerintah melalui Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sebenarnya sudah membantah kemungkinan bangkitnya Dwifungsi TNI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hadi menyebut isu itu sebagai omong kosong belaka. Toh, bantahan Panglima TNI tak serta merta meredakan kekhawatiran atas bangkitnya Dwifungsi TNI.
Lembaga Swadaya Masyarakat masih berbondong-bondong menyuarakan penolakan atas rencana Pati dan Pamen TNI menduduki jabatan sipil.
Khairul Fahmi, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyoroti segala dampak negatif dalam penempatan perwira ke jabatan sipil.
Ekses tersebut menurutnya merentang mulai dari beban persaingan bagi pejabat karier yang makin ketat hingga kualitas demokrasi yang terancam merosot.
Khairul pun meragukan janji pemerintah bahwa perwira militer yang akan ditempatkan di kementerian atau lembaga tidak akan berpolitik. Pasalnya, dalam penyusunan anggaran maupun kebijakan suatu kementerian bersingungan dengan politik.
"Apalagi kalau tu berkaitan jabatan eselon I dan eselon II. Bagaimana mungkin enggak akan berkenaan dengan politik. Kebijakan anggaran itu kan politik, diskusinya kan sama DPR, dia berinteraksi dengan partai-partai di parlemen," jelas Khairul kepada
CNNIndonesia.com.
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Khairul, adalah pelemahan lembaga sipil akibat keberadaan Pamen dan Pati TNI. Itu bisa terjadi karena keberadaan Pamen dan Pati dan lembaga sipil berpotensi memicu gejolak internal.
Gejolak tersebut, kata Khairul, bisa disebabkan oleh keraguan terhadap kompetensi pamen dan pati ketika mendapat jabatan di lembaga sipil.
Kekhawatiran terbesar akibat penempatan pamen dan Pati TNI adalah melemahnya supremasi sipil yang merupakan salah satu aspek terpenting dalam negara demokrasi.
Atas dasar itu Khairul menilai kekhawatiran publik terhadap kembalinya Dwifungsi TNI tidak berlebihan.
Ia berharap baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto dapat memberikan solusi yang komprehensif terhadap surplus perwira TNI ini dalam debat nanti. Sebab, menurut dia, solusi atau paparan yang dijabarkan pemerintah terkait isu ini masih bersifat instan.
Evan Laksamana, peneliti dari Centre for Strategic International Studies (CSIS) menyebut penempatan Pati dan Pamen TNI nonjob ke jabatan sipil di kementerian dan lembaga, sebatas mengobati gejala alias simtom. Ia menilai persoalan ini lebih dari itu.
Dia berkata fenomena banyak perwira nonjob bukan hanya soal ketersediaan posisi yang minim, tapi juga menandakan regresi dalam regenerasi dan cacatnya sistem manajemen personel.
Publik harus mendapat solusi atas persoalan tersebut.
Evan menambahkan persoalan perwira menganggur ini sudah ada sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pengamatannya, solusi yang ditawarkan SBY saat itu tak jauh berbeda dengan yang diambil Jokowi saat ini, yakni memperluas struktur TNI dan menempatkan para perwira nonjob ke kementerian dan lembaga lainnya.
Hanya saja dalam era Jokowi ini, skala kebijakannya lebih besar ketimbang era SBY. Meski demikian, Evan masih ragu persoalan surplus perwira di tubuh TNI bisa teratasi dalam jangka panjang.
"Ini hanya akan menunda saja. Sementara sejumlah posisi baru membuka kemandekan, jumlah lulusan dari akademi serta sekolah staf dan komando akan menciptakan kemacetan baru dalam 5-10 tahun ke depan," imbuh Evan.
Kenaikan Anggaran hingga Peremajaan AlutsistaEvan juga menyoroti persoalan alutsista dan anggaran pertahanan. Dia berharap di panggung debat nanti, Jokowi dan Prabowo tidak menjanjikan kenaikan anggaran pertahanan yang sifatnya sudah pasti.
Kenaikan anggaran pertahanan setiap tahun selalu terjadi sejak era SBY. Evan menyarankan Jokowi dan Prabowo lebih mengelaborasi sistem alokasi anggaran pertahanan alih-alih kembali beretorika soal rencana menaikkan anggaran pertahanan.
"Mau jumlah anggaran tahun depan meningkat dua kali lipat pun, bukan berarti semua anggaran bisa dipakai untuk membeli peralatan tempur baru," terang Evan.
Elaborasi soal sistem alokasi bisa menjelaskan sejauh mana masing-masing capres memahami persoalan pertahanan di Indonesia. Ini karena demikian kompleksnya persoalan pertahanan mulai dari peremajaan alutsista, belanja rutin untuk pengembangan organisasi, hingga kesejahteraan prajurit.
Khusus mengenai alutsista, Evan memandang Jokowi dan Prabowo belum memberikan paparan yang jelas.
Sekadar berjanji belanja peralatan militer baru tanpa menjelaskan sistem peremajaan maupun life cycle cost serta membenahi alokasi anggaran, ia menganggap masalah peremajaan alutsista sulit membaik.
"Untuk membenahi sistem alokasi anggaran itu lebih penting daripada meningkatkan anggaran. Mungkin agak teknis, tapi harusnya untuk debat capres harus masuk ke hal konkret seperti itu," ujar Evan.
(bin/wis)