Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) diketahui telah memblokir laman
jurdil2019.org atas permintaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terhitung Sabtu (20/4) lalu. Pemblokiran situs itu lantaran pengelola
Jurdil 2019 diduga menyalahgunakan izin yang diberikan Bawaslu sebagai pemantau
Pemilu 2019.
Situs yang mengklaim kemenangan capres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 itu diketahui telah mendapat izin dari Bawaslu sebagai pihak yang berstatus sebagai pemantau di Pemilu 2019.
Bawaslu sendiri telah resmi mencabut izin Jurdil 2019 sebagai anggota pemantau Pemilu 2019. Bawaslu menyebut izin itu dicabut karena lembaga tersebut tidak bekerja sesuai dengan prinsip pemantauan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu menyebut di luar 40 lembaga survei yang sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilarang melakukan survei atau hitung cepat Pemilu 2019 bagi publik. Secara undang-undang, kata dia, lembaga survei harus mendaftar terlebih dulu ke KPU untuk melakukan survei maupun hitung cepat.
Berstatus sebagai pemantau pemilu, Jurdil 2019 malah mengeluarkan penghitungan suara yang memenangkan Prabowo-Sandi. Berdasarkan perhitungan Jurdil 2019 dari 1.575 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 34 provinsi per 18 April 2019 pukul 15.20 WIB, Prabowo-Sandiaga unggul dari Jokowi-Ma'ruf.
Prabowo-Sandiaga mendapat perolehan suara 58,1 persen sementara Jokowi-Ma'ruf hanya 39,5 persen. Kemudian untuk suara tidak sah jumlahnya mencapai 2,4 persen.
Hasil itu berbeda dengan
quick count sejumlah lembaga survei yang justru terdaftar di KPU dan menunjukkan hasil sebaliknya, yakni Jokowi-Ma'ruf unggul sementara dari Prabowo-Sandi.
Anggota Jurdil 2019, Rulianti merasa tak terima dengan pemblokiran situsnya tersebut. Ia mengaku terkejut begitu mengetahui kabar pemblokiran situs Jurdil 2019. Ia tak pernah mendapat pemberitahuan sama sekali baik dari Bawaslu maupun pihak Kemenkominfo.
Rulianti pun membantah bahwa situs Jurdil 2019 mempublikasikan hasil hitung cepat Pilpres 2019. Ia mengklaim hanya menampilkan data hasil pemindaian formulir C1 yang dibagikan oleh para relawan.
Beda Pemantau dan Lembaga SurveiTentu yang dilakukan Jurdil 2019 tidak mencerminkan sifat-sifat pemantauan terhadap pemilu. Jurdil 2019 justru mengeluarkan hasil penghitungan suara yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya.
Diketahui, terdapat perbedaan yang mendasar antara status lembaga pemantau dan lembaga survei di Pemilu 2019. Perbedaan itu mencakup pada tugas dan kewenangan masing-masing yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu merupakan pihak yang memiliki tugas untuk mengakreditasi atau mengeluarkan izin bagi pihak yang ingin mendaftarkan sebagai pemantau pemilu. Ketentuan ini berbeda dari peraturan saat Pemilu 2014.
Ada beberapa syarat agar lembaga pemantau lulus akreditasi Bawaslu di antaranya kelompok tersebut harus independen, berbadan hukum, dan memiliki sumber dana yang jelas.
Untuk pemantau asing, mereka harus memiliki kompetensi dan pengalaman memantau pemilu negara lain. Mereka juga harus mendapat visa sebagai pemantau dan menaati ketentuan perundangan di Indonesia.
Tugas utama bagi pemantau pemilu adalah mengamati dan mengumpulkan informasi proses penyelenggaraan pemilu pada satu atau beberapa daerah di Indonesia dalam Pemilu 2019.
Meski sama-sama berwenang memantau, pemantau pemilu tak memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti hasil pantauannya. Tugas tersebut nantinya akan diambil alih oleh Panwaslu sebagai pihak yang berhak menindaklanjuti laporan.
Pemantau pemilu sendiri hanya memiliki kewajiban untuk menjamin akurasi data dan informasi hasil pemantauannya dengan mengklarifikasi kepada Bawaslu. Selain itu, pemantau pemilu diwajibkan melaporkan hasil akhir pemantauan pelaksanaan pemilu kepada pihak Bawaslu.
Pihak pemantau pemilu turut memiliki berbagai koridor yang harus dipatuhi berdasarkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut. Hal itu diantaranya pemantau pemilu dilarang untuk memengaruhi pemilih, mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggara pemilu, dan memihak kepada peserta pemilu tertentu.
Selain itu, pemantau pemilu juga dilarang menggunakan seragam, warna, atau atribut lain yang memberikan kesan mendukung peserta pemilu, menerima atau memberikan hadiah, imbalan, atau fasilitas, mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia dan melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan tujuan sebagai pemantau Pemilu.
Pemantau pemilu yang melanggar berbagai koridor dalam aturan tersebut bisa dicabut status dan haknya sebagai pemantau pemilu oleh Bawaslu.
Ketua KPU Arief Budiman menyebut setidaknya terdapat 120 lembaga pemantau Pemilu 2019 yang sudah terakreditasi di Bawaslu baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Berdasarkan Peraturan KPU 10 Tahun 2018 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu, para lembaga survei yang bisa menampilkan hasil
quick count harus terdaftar secara resmi di KPU.
Selain itu, para lembaga survei disyaratkan memiliki keharusan untuk memiliki badan hukum di Indonesia dan sumber dana yang tidak berasal dari pembiayaan luar negeri.
Lembaga survei dalam melaksanakan
quick count diwajibkan untuk menggunakan metode ilmiah dalam pelaksanaannya, antara lain meliputi wawancara dan tidak diperbolehkan untuk mengubah data lapangan dalam pemrosesan data.
Selanjutnya lembaga survei diwajibkan untuk melaporkan metodologi pengumpulan data, sumber dana, jumlah responden, serta tanggal dan tempat pelaksanaan
quick count.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan beberapa waktu lalu pernah menyebut bahwa lembaga survei yang tidak terdaftar secara resmi di KPU akan dijatuhi pelanggaran bila ditemukan merilis hasil
quick count di Pemilu 2019.
Diketahui sebanyak 40 lembaga survei telah berpartisipasi dalam proses hitung cepat Pemilu 2019. Sebanyak 40 lembaga survei ini telah terdaftar dan dinyatakan telah lolos verifikasi oleh KPU untuk melakukan hitung cepat pada 17 April 2019.
Berdasarkan penelusuran
CNNIndonesia.com, organisasi Jurdil 2019 sendiri tak termasuk dalam salah satu dari 40 lembaga survei untuk melakukan publikasi hitung cepat dalam Pemilu 2019.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai sudah sepatutnya lembaga pemantau pemilu Jurdil 2019 di cabut izinnya oleh pihak Bawaslu.
Sebab status pemantau pemilu hanya bertugas semata-mata melakukan observasi tanpa berwenang melakukan
quick count di Pemilu 2019 ini.
"Nah kalau
quick count itu beda lagi aturan dan pasalnya. Jadi tidak bisa pemantau merangkap quick count," kata Wasis kepada
CNNIndonesia.com.
Meski begitu, Wasis mengakui memang terdapat ruang 'abu-abu' dalam UU Pemilu bahwa tak ada larangan bagi pemantau pemilu untuk menggelar
quick count.
Ia menyatakan sudah sepatutnya para lembaga perlu memiliki standar etika tersendiri seusai tugas dan fungsinya agar tak merusak kredibilitasnya sebagai pemantau pemilu.
"Tapi seyogyanya pemantau pemilu juga perlu tahu etika dan standar moral ketika merangkap lembaga QC karena itu taruhannya adalah kredibilitas individu dan institusi," kata dia.
[Gambas:Video CNN]