Sejarah May Day, Dewi Musim Semi hingga Kekuatan Buruh

Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Rabu, 01 Mei 2019 07:11 WIB
Sejarah May Day dimulai dari hari libur untuk pergantian musim. Namun, Hari Buruh mengalami perubahan bentuk hingga kini di seluruh dunia.
Ilustrasi. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- May Day yang jatuh setiap 1 Mei adalah hari libur kaum pagan kuno untuk menandai permulaan musim panas atau perayaan tahunan untuk menyambut datangnya musim semi di Mesir dan India kuno.

May Day juga dirayakan oleh bangsa Romawi dalam festival Floralia untuk menghormati Flora, dewi musim semi. Ketika bangsa Romawi memperluas kekuasaannya, tradisi ini menyebar ke banyak wilayah.

Ketika tradisi ini masuk ke negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika, May Day mengalami perubahan bentuk. Di Inggris abad pertengahan, selebrasi May Day menjadi acara tari-tarian mengelilingi tiang kayu yang dihiasi oleh bebungaan, atau yang dikenal dengan acara Maypole.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, May Day mempunyai arti baru di abad ke-19, yakni peringatan Hari Buruh untuk memperjuangkan hak para pekerja di seluruh dunia.


Pada September 1882 di Amerika Serikat, sekitar 20 ribu orang menggelar parade sambil membawa spanduk bertuliskan 'delapan jam kerja, delapan jam istirahat, dan delapan jam rekreasi'.

Di tahun-tahun berikutnya gagasan itu menyebar ke negara-negara bagian di AS, namun belum menjadi hari libur umum.

Pada 1 Mei 1886 terjadi demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar di Amerika Serikat yang dilakukan oleh sekitar 400 ribu orang buruh dengan masih mengusung tuntutan yang sama, yaitu pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari.

"Demonstrasi saat itu berlangsung selama empat hari, sejak 1 Mei hingga 4 Mei 1886," demikian rangkuman  CNNIndonesia.com.

Di hari terakhir, buruh melakukan pawai secara besar-besaran. Aksi itu ternyata disambut polisi dengan melakukan penembakan secara membabi buta hingga menewaskan ratusan orang. Polisi juga menangkap sejumlah pemimpin aksi tersebut. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan Haymarket, ratusan buruh yang tewas pun disebut sebagai martir.

Setelah itu, Konferensi Sosialis Internasional diselenggarakan di Paris, Perancis pada 1889. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa demonstrasi buruh di Amerika Serikat pada 1 Mei 1886 sebagai peringatan Hari Buruh Internasional. Di Amerika Serikat, Hari Buruh ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 1894.

May Day di Indonesia

Peringatan Hari Buruh juga sampai di Indonesia, pertama kali diperingati pada 1920. Namun, Hari Buruh tidak lagi diperingati di era kepemimpinan Presiden Soeharto atau era Orde Baru karena diiidentikkan dengan gerakan atau paham komunis.

Sejak peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada 1965 Hari Buruh menjadi tabu di Indonesia.

Soeharto menghilangkan May Day pada 1967 dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja. Soeharto menunjuk Awaloedin Djamin sebagai Menteri Tenaga Kerja pertama era Orde Baru. Ia dipilih karena latar belakangnya sebagai perwira polisi.

Menurut Soeharto, Awaloedin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi jabatan itu karena dinilai mampu menghadapi kaum buruh.

"Serikat buruh saat itu masih kuat maka Peringatan hari buruh pada 1 Mei 1966 masih diadakan oleh Awaloedin setelah mendengar pertimbangan Soeharto," demikian rangkuman CNNIndonesia.com.

Peringatan diadakan cukup meriah dengan di isi acara pawai kendaraan melewati istana. Seusai peringatan 1 Mei itu, Awaloedin melemparkan gagasan bahwa tanggal itu tidak cocok untuk peringatan buruh nasional. Selain itu, peringatan May Day selama ini telah dimanfaatkan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) atau PKI.


Perkembangannya kemudian, serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis. Hal itu dimulai dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

FSBI adalah wadah bersatunya organisasi-organisasi buruh di seluruh Indonesia yang sebelumnya terpencar-pencar dalam berbagai organisasi. FSBI pada masa Orde Baru sangat dekat dengan pemerintah, bahkan terkesan sebagai birokrat, sehingga nasib buruh pun masih tidak banyak berubah. 

Presiden Soeharto. (Foto: Dok. Istimewa)


Selain itu, FSBI juga belum sepenuhnya independen karena masih didanai pemerintah. Pada 1986, muncul ide untuk menarik iuran sendiri dari para anggotanya.

Selama masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya pemogokan kerja, meski tak ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini.

"Pada masa itu pula, tuntutan buruh akan upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai digaungkan. Komisi Upah yang saat itu dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan buruh juga mulai bersuara tentang proses penetapan upah yang tidak adil bagi buruh," demikian hasil rangkuman CNNIndonesia.com.

Aksi ribuan buruh di Indonesia kembali terjadi usai masa reformasi, tepatnya pada 1 Mei 2000. Kala itu, para buruh menuntut agar 1 Mei kembali menjadi Hari Buruh Internasional dan hari libur nasional. Aksi yang disertai dengan langkah mogok besar-besaran para buruh itu berlangsung selama sepekan penuh hingga membuat para pengusaha ketar-ketir.


Sejak saat itu, peringatan 1 Mei ditandai oleh aksi turun ke jalan oleh ribuan buruh dari berbagai wilayah seperti Tangerang, Bogor, dan Bekasi ke Jakarta. Aksi ini senantiasa memicu kemacetan panjang, terlebih ketika buruh memblokade sejumlah ruas jalan.

May Day di Indonesia tidak hanya diikuti oleh mereka yang berasal dari kalangan buruh, melainkan juga diikuti oleh Mahasiswa, aktivis dari organisasi kepemudaan, hingga masyarakat umum.

Namun, tidak ada perkembangan soal tuntutan penetapan 1 Mei dijadikan Hari Buruh Internasional pada masa pemerintahan Abdurrahahman Wahid alias Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri.

Pun demikian dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga sempat bersikeras tidak mau mengabulkan tuntuan buruh tersebut. SBY mengaku tidak sepakat dengan rencana buruh untuk melakukan aksi mogok nasional, karena hanya akan merugikan perusahanan dan pekerja.

Kontroversi SBY kian berlanjut, lantaran Presiden keenam Indonesia kerap melakukan kunjungan kerja ke luar kota atau luar negeri saat Jakarta dikepung demo besar-besaran pada 1 Mei. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) kala itu, Aburizal Bakrie, juga sempat menyatakan pemerintah tak akan menetapkan Hari Buruh sebagai hari libur nasional.

Di masa pemerintahan SBY juga tuntutan yang diminta buruh bukan hanya hari libur di 1 Mei, tetapi juga soal revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, serta jaminan sosial yang kemudian membuahkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga BPJS Ketenegakerjaan.

Akhirnya, SBY menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional pada 2013.

Tuntutan di Era Jokowi

Setelah tuntutannya agar pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional, buruh menyampaikan sepuluh tuntutan dalam aksinya di 2014. Tuntutan yang disampaikan oleh buruh itu menyangkut persoalan kesejahteraan buruh dan para pegawai outsourcing.

Sebanyak sepuluh tuntutan itu antara lain kenaikan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi kebutuhan hidup layak menjadi 84 item; menolak penangguhan upah minimum, menjalankan jaminan pensiun wajib bagi buruh pada Juli 2015; menjalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara mecabut Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 tentang Tarif,  audit BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan; serta hapus outsourcing.

[Gambas:Video CNN]

Usai Pilpres pertengahan April, sejumlah organisasi buruh pun bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan di Bogor pada Jumat pekan lalu. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya mengatakan pertemuan dirinya dengan presiden tak ada kaitannya dengan dukungan usai gelaran Pilpres 2019, melainkan pembahasan soal hak-hak buruh.

Said menyatakan pihaknya menyampaikan tiga hal terkait revisi PP 78/2015 tentang Pengupahan dalam pertemuan itu. Pertama, kata Said, pemerintah harus mengembalikan hak berunding serikat buruh dalam kenaikan upah minimum.

Kemudian kedua, mencabut formula kenaikan upah minimum dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Formula itu diganti dengan formula survei pasar yang kemudian dibahas dalam dewan pengupahan

"Ketiga memberlakukan upah minimal sektoral secara menyeluruh dan menindak tegas perusahaan yang tidak membayar upah minimum," kata Said.

(asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER