Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum administrasi negara, Dian Simatupang menilai seruan
Arief Poyuono yang mengajak masyarakat untuk tidak bayar pajak tak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Justru ajakan Juru Bicara BPN
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu hanya akan merugikan masyarakat kecil.
Dian menyebut selama ini pajak dapat digunakan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Karena itu, jika ajakan itu dilakukan justru hanya bikin sulit rakyat.
"Apakah bisa dijerat tentu kan dilihat unsur-unsurnya. Tapi, secara hukum memang itu kan pertama tidak mengikat. Kedua, itu (seruan Arief Poyuono) kontra-produktif terhadap fungsi pajak yang selama ini digunakan untuk pemerataan pembangunan," ujar Dian kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (16/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dian pun menjelaskan bahwa ada sanksi jika warga negara dalam hal ini wajib pajak sengaja menghindar dari kewajibannya. Hal itu menjadi masalah rumit lain yang akan terjadi jika seruan Wakil Ketua Umum Gerindra itu diikuti masyarakat nantinya.
"Menurut saya selain sanksinya berat, itu malah menyulitkan warga negara. Apakah itu membantu secara hukum jika warga negara tidak membayar pajak? Kan tidak. Akan tambah kerumitan kalau mengikuti seruan itu," pungkasnya.
Senada, pengamat hukum pidana Universitas Indonesia Chudry Sitompul menyebut seruan Arief bukan bentuk tindak pidana. Namun sebagai elite partai yang memiliki kepentingan dalam Pilpres 2019 sangat tidak bijak mengajak masyarakat untuk tak membayar pajak.
"Kalau si Arief Poyuono agak sulit dikenakan pidana apa, cuma kurang bijak. Kalau zaman dulu bisa kena UU Subversif, kalau ini nggak," ucap dia.
Chudry menambahkan terdapat beberapa sanksi perpajakan yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Dimulai dari surat teguran sampai
gijzeling (penyanderaan) terhadap wajib pajak.
Penyanderaan atau pengekangan sementara waktu terhadap Wajib Pajak yang menunggak dengan menempatkannya di tempat tertentu itu diatur dalam UU Nomor19 tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
"Kalau WP (Wajib Pajak) tidak mau membayar pajak, maka Kantor Pajak akan mengimbau WP untuk membayar utang pajaknya. Kalau sudah diimbau, WP tetap tidak mau melunasinya, maka akan dilakukan upaya paksa penyanderaan (gijzeling)," kata dia.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti menegaskan terdaoat ancaman pidana penjara paling lama enam tahun bagi setiap orang yang tidak menyetorkan pajak.
"Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar," tukas Frans.
Sebelumnya, Arief Poyuono menyerukan kepada para pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Menurut dia, hal itu sebagai bentuk penolakan pengakuan terhadap hasil resmi Pemilu 2019 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
[Gambas:Video CNN] (ryn/osc)