Jakarta, CNN Indonesia -- Baru berusia sembilan tahun,
Partai NasDem meraih lima besar di
Pileg 2019. Modal besar datang dari media, jargon tanpa mahar, dan efek ekor jas
Jokowi.
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara nasional KPU, Partai NasDem meraup
12.661.792 (9,05 persen). Angka itu lantas menempatkannya pada lima besar Pileg 2019 di bawah PDIP, Gerindra, Partai Golkar, dan PKB.
Pada Pemilu 2014, partai yang mengusung slogan 'Restorasi Perubahan' itu hanya meraih 6,72 persen. Angka itu lantas mengalami kenaikan hingga 2,97 persen pada Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada proses pembahasan UU Pemilu, partai yang dipimpin oleh Surya Paloh ini juga berani menyodorkan nilai ambang batas parlemen alias
parliamentary treshold 7 persen.
Pengamat politik dari Populi Center, Usep S Ahyar menyebut tren positif Partai NasDem tak lepas dari investasi politiknya.
"NasDem trennya positif dari pemilu ke pemilu, investasi dan kerja keras panjang, dari sisi semua faktor [kekuasaan] yang diperlukan dalam sebuah partai mereka dapat," kata Usep kepada
CNNIndonesia.com, Senin (20/5)
 NasDem disebut mendapat berkah kedekatan dengan Jokowi. ( CNN Indonesia/Safir Makki) |
Dia menyatakan NasDem sendiri memiliki berbagai modal kekuasaan yang besar yang mampu dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam Pemilu 2019 ini. Pertama, modal efek ekor jas atau
coattail effect paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019. Dua parpol lain yang mendapatkan keuntungan serupa adalah PDIP dan PKB.
"Mereka kena
coattail effect, ada tiga partai besar yang diuntungkan salah satunya Nasdem, Nasdem relatif konsisten mengusung Pak Jokowi, NasDem relatif konsiten dari awal," kata dia.
Kedua, jargon kampanye 'politik tanpa mahar'. Jargon itu, kata Usep, kerap diusung NasDem membuat masyarakat dan para calon anggota legislatif terpesona. Ia menyatakan jargon tersebut sangat ampuh untuk membentuk citra diri NasDem menjadi lebih positif.
Selain itu, jargon tersebut membuat caleg-caleg petahana dari parpol lain maupun caleg muda untuk masuk Partai NasDem.
"Mereka menggemborkan politik tanpa mahar, itu jadi daya tarik sendiri. Terbukti banyak politisi-politisi petahana itu banyak yang pidah ke NasDem itu modal baik untuk kepentingan menaikan suara di daerah," kata Usep.
Berdasarkan data yang dihimpun, NasDem mengusung 50 caleg petahana dari total 575 caleg DPR RI di Pileg 2019. Tak hanya itu, beberapa kepala daerah turut memutuskan maju sebagai calon legislatif dari NasDem.
Tak hanya itu, Usep menilai Nasdem sendiri merupakan parpol yang berkiblat pada hasil survei untuk menentukan caleg yang dapat dipertimbangkan untuk maju di beberapa wilayah dalam Pemilu 2019. Hal itu bertujuan untuk memberikan prediksi perolehan suara.
 Para caleg NasDem dari kalangan artis. ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
"NasDem itu ketika menentukan seorang calon mereka melakukan survei dan memilih elektabilitasnya tinggi, misalnya, di Jabar mereka sudah duluan dan di beberapa wilayah lain," kata dia.
Modal ketiga NasDem, lanjut Usep, adalah kekuatan media dan finansial yang dimiliki Surya Paloh. Kedua modal itu dapat dikombinasikan sehingga Nasdem terus menerus memberi informasi kepada masyarakat.
Diketahui, Surya Paloh sendiri menggawangi beberapa perusahaan media yang bernaung di bawah bendera Media Group.
"Mereka punya media luar biasa, tak hanya Metro TV aja tapi Media Group, saya kira untuk memberikan informasi positif kepada masyarakat, ini kekuatan signifikan," kata Usep.
Tetap Lirik FinansialTerpisah, Ketua DPP Nasdem, Irma Suryani Chaniago tak menampik pernyataan Usep tersebut. Ia menyebut strategi utama NasDem pada 2019 adalah menggaungkan politik tanpa mahar. Melalui jargon itu, ia menyatakan para caleg dan masyarakat sendiri akan menyukai integritas parpol yang bersih dalam pemilu.
"Nasdem anti-mahar, dan caleg yang sudah jadi [di parlemen] tak dibebani iuran bulanan untuk partai," kata Irma kepada CNNIndonesia.com.
Tak berhenti disitu, Irma menyatakan Nasdem memiliki kriteria khusus bagi caleg yang akan dipilih untuk bertarung di Pileg 2019. Kata dia, Nasdem memilih kriteria caleg yang memliki finansial yang cukup dan elektabilitas tinggi di tiap-tiap daerah pemilihan.
 Eks kader Partai NasDem yang menjadi Jaksa Agung, M Prasetyo. ( CNN Indonesia/Safir Makki) |
Ia pun tak menampik bila NasDem sendiri memiliki pragmatisme, seperti faktor finansial caleg dan elektabilitas tinggi, dalam kontestasi Pileg.
"Pemilihan caleg yang mungkin kan bisa dapat kursi, yaitu caleg dengan latar belakang finansial yang memadai dan tingkat elektabilitas tinggi," kata dia.
Irma pun membantah soal peran penggunaan jabatan Jaksa Agung M Prasetyo sebagai alat politiknya di Pemilu 2019.
Tudingan tersebut sempat dilontaran oleh Wasekjen Demokrat Andi Arief bahwa Kejaksaan Agung menjadi alat politik NasDem, beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menegaskan jabatan Jaksa Agung tidak boleh diisi oleh orang dengan latar belakang politikus
Menurut Irma, Partai NasDem bersikap profesional meskipun kader-kadernya dipercaya untuk memegang amanah di kursi pemerintahan.
"Tentu sangat tidak benar, Nasdem profesional memberikan atau mewakafkan kadernya untuk membantu presiden dan pemerintah," kata Irma.
Sejumlah pengamat menyebut mahar politik merupakan faktor pemicu korupsi yang dilakukan kepala daerah atau caleg terpilih di pemilu. Meski ada klaim tanpa mahar, sejumlah politikus Partai NasDem terjerat kasus korupsi.
Misalnya, Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar yang terjaring OTT KPK dalam kasus suap anggaran pendidikan; Bupati Mesuji Khamami menjadi tersangka korupsi proyek infrastruktur; anggota DPRD Malang Mohammad Fadli dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi.
 Kader NasDem yang juga Bupati Mesuji Khamami terjerat OTT KPK. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga) |
Tak ketinggalan, Sekretaris Jenderal Partai NasDem Patrice Rio Capella dalam kasus dana bantuan sosial (bansos).
Kader NasDem yang juga Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pun tengah diselidiki KPK terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus dugaan suap yang melibatkan anggota DPR Bowo Sidik Pangarso.
(rzr/arh)