Jakarta, CNN Indonesia -- Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Tomagola mengatakan bahwa rekonsiliasi substantif mesti dilakukan secara konkret setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan persidangan
sengketa Pilpres 2019. Itu dinilai perlu demi melunturkan polarisasi di masyarakat.
"Untuk ke depan, karena ada polarisasi yang tajam ini, harus ada suatu rekonsiliasi substantif pada tingkat bangsa," tutur Thamrin di kantor Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Jakarta, Minggu (16/6).
Thamrin mengamini bahwa polarisasi yang tajam terjadi antara pendukung capres
Joko Widodo dan
Prabowo Subianto. Pembelahan begitu terasa di masyarakat akibat kontestasi politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berkenaan dengan itu, rekonsiliasi substantif yang dimaksud dan dibutuhkan bukan dengan menyatukan Jokowi dan Prabowo dalam kabinet yang sama. Berdamai di tingkat elit justru malah membuat rakyat di level bawah kecewa.
Implikasi yang terjadi adalah masyarakat menjadi semakin tidak percaya kepada politisi terutama di tingkat elit. Dampak terburuknya, lanjut Thamrin, masyarakat menjadi tidak percaya terhadap sistem demokrasi.
"Kalau tidak percaya terhadap elit politik, ya mungkin wajar lah. Tetapi jangan sampai mereka tidak percaya kepada demokrasi, karena dia bisa jadi percaya ke khilafah. Pakai cara khilafah. Imam besar diangkat jadi penguasa," ucap Thamrin.
Rekonsiliasi substantif yang perlu dilakukan, kata Thamrin, lebih kepada peningkatan kualitas ekonomi masyarakat. Menurutnya, itu perlu dilakukan terutama ditekankan di wilayah-wilayah di mana masyarakat tidak memilih Jokowi pada Pilpres 2019.
Misalnya, Sumatera Barat dan Aceh. Menurut Thamrin, kesenjangan ekonomi di sana begitu besar. Bahkan, dia menyebut korupsi di Aceh masih begitu marak.
"KPK kan bilang termasuk 6 besar. Nah itu dibenahin dulu," kata Thamrin.
Hal lain yang perlu dilakukan yakni Jokowi merealisasikan janji-janji yang berkaitan dengan ekonomi. Misalnya, ekonomi keumatan yang digaungkan Ma'ruf Amin. Selain itu, juga Kartu Pra Kerja, Kartu Sembako Murah, dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.
Thamrin mengatakan itu semua sebaiknya direalisasikan seoptimal mungkin.
"Jangan seperti sekarang, BPJS banyak masalahnya itu," ucapnya.
Thamrin juga setuju jika semakin banyak tokoh dan akademisi yang bicara di media sosial. Terutama dalam rangka melawan hoaks dan asumsi-asumsi negatif.
Dia menilai media sosial sangat berperan dalam menciptakan pembelahan di masyarakat. Diperlukan peran tokoh-tokoh untuk melunturkan pembelahan tersebut dengan cara memberikan pemahaman yang positif. Misalnya tokoh sekaliber Syafii Maarif dan Ariel Heryanto.
"Kalau tokoh politik seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah, Dahnil (Anzar Simanjuntak) mungkin enggak ada dampaknya. Masyarakat juga nanti bilang, 'ah elu sendiri juga begitu'," tutur Thamrin.
[Gambas:Video CNN] (bmw/rea)