Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa Hukum
Baiq Nuril, Aziz Fauzi menilai Mahkamah Agung gagal memahami perkara Baiq Nuril terkait kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Seharusnya Mahkamah Agung lebih cermat dan berperspektif dalam menilai kasus ini," kata Aziz di kantor LBH Pers, Jakarta, Jumat (5/7).
Aziz mengatakan MA menjatuhkan pidana dengan bukti yang cacat karena tidak dapat dijamin hukumannya karena isinya telah berubah sehingga sudah tidak asli lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah terhadap bukti yang dipakai oleh Majelis Hakim Agung di tingkat kasasi itu tidak dapat lagi dijamin keutuhanya, sudah berubah isinya dan tidak ada bukti primernya," tuturnya.
"Bukti primernya ini maksudnya bukti rekaman aslinya untuk membandingkan apakah ada perbedaan antara meta data dengan data asli maksudnya, itu tidak bisa diperbandingkan karena bukti aslinya hilang, tidak ada," kata dia.
Kemudian, bukti elektronik yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim Agung diperoleh bukan atas dasar polisi, jaksa maupun penegak hukum lainnya. Bukti berupa rekaman percakapan ini adalah hasil inisiatif dari Baiq Nuril untuk membela dirinya karena pada saat itu beredar gosip di sekolah bahwa dia punya hubungan spesial dengan kepala sekolah.
Berdasarkan putusan MK Aziz mengakui alat bukti elektronik harus diperoleh berdasarkan projustisia. Namun dirinya menilai MA hanya memotong sebagian potongan aspek formil semata tanpa melihat kasusnya lebih utuh.
"MA gagal melihat bahwa Ibu Nuril adalah korban di situ. Ibu Nuril posisinya sebagai korban yang mencoba mempertahankan harkat dan martabatnya. Karena selama kurun waktu yang sebenarnya bukan setengah bulan, tapi ini bertahun-tahun dia digangguin terus. Nah, inilah yang coba direkam oleh Ibu Nuril. Dan Ibu Nuril pun tidak pernah menyebarkan rekaman tersebut secara elektronik," tutur Aziz.
Maka dari itu, Aziz pun menyayangkan sikap MA karena tidak bisa melihat secara utuh mengenai perkara ini. Ia menambahkan sudah banyak kelompok masyarakat, anggota DPR, hingga berbagai lembaga yang menyayangkan putusan tersebut.
"Bahwa bnyak sekali yang mengkritik putusan tersebut bahkan ada beberapa guru besar dan bahkan ada perguruan tinggi di Jatim yang melalukan eksaminasi terhadap putusan MA ditingkat kasasi menyatakan putusan tersebut adalah keliru," tambahnya.
Sementara itu, Lembaga kajian dan peneliti Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia FH UI (Mappi FH UI) menyatakan sudah saatnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) disahkan.
Peneliti MaPPI FH UI Bestha Inatsan mengatakan sampai saai ini korban kekerasan seksual di Indonesia meningkat tiap tahunnya. Hal ini berdasarkan laporan Komnas perempuan.
"Kita mau sampai kapan lagi besarnya korban kekerasan seksual. Sementara Negara lain sudah punya aturan kekerasan seksual sendiri sudah dari 1800. Sementara Indonesia tahun 2019 kita masih memperdebatkan apakah masih perlu punya UU kekerasan seksual," kata Bestha di kantor LBH Pers, Jakarta, Jumat (5/7).
Bestha melihat Mappi pelecehan seksual sekarang ini banyak ragamnya antara lain dalam bentul verbal, fisik dan kemudian bisa secara online yaitu lewat medsos. Kemudian, menurut Bestha penolakan PK Baiq Nuril ini membuat perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual akan sulit jika ingin melapor ke aparat penegak hukum.
Sebelumnya, MA menolak gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana Baiq Nuril Maknun, mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram dalam kasus penyebaran konten bermuatan asusila.
Putusan ini memperkuat vonis di tingkat kasasi yangmenghukumBaiqNuril enam bulan penjara dan denda Rp500 jutasubsidai
r tiga bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Baiq Nuril terbukti mentrasmisikan konten asusila seperti yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
(sas/ain)