Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus
korban salah tangkap masih kerap terjadi dalam proses pengungkapan sebuah kasus oleh pihak
kepolisian.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (
KontraS) mencatat setidaknya ada sebanyak 51 kasus salah tangkap dalam kurun setahun, Juli 2018-Juli 2019. Data itu diperoleh KontraS dari hasil monitoring media dan laporan yang masuk ke pihaknya.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat ada sebanyak tujuh kasus selama periode 2018-2019. Pun, termasuk kasus salah tangkap yang saat ini masih ditangani pihak LBH Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkini, kasus salah tangkap kembali jadi sorotan setelah empat pengamen mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka menjadi korban salah tangkap pada 2013 silam dan sempat divonis penjara, namun dibebaskan setelah putusan kasasi menyatakan mereka tak bersalah.
Dalam gugatan praperadilan, mereka meminta kepada PN Jaksel memerintahkan Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Kementerian Keuangan untuk mengaku bersalah dan memberikan ganti rugi secara material dan imateriil.
Menanggapi kasus tersebut, Polda Metro Jaya menganggap tugas penyidik telah selesai. Alasannya, pihak kepolisian telah melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga berkas perkara dilimpahkan ke kejaksaan. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyatakan jaksa ketika itu menyatakan berkas telah lengkap dan telah ada vonis pengadilan tingkat pertama.
Kepala Divisi Advokasi KontraS Arif Nur Fikri mengatakan fenomena kasus salah tangkap itu menunjukkan ada persoalan serius di tingkat Sumber Daya Manusia (SDM) terutama manajemen proses penyidikan di kepolisian.
"Maka tidak heran banyak kasus salah tangkap," kata Arif kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (18/7).
Menurut Arif, batasan waktu untuk penanganan kasus menyebabkan kepolisian mesti mengejar waktu untuk bisa menyelesaikan penyidikan perkara. Walhasil, polisi mesti mengakali batasan waktu itu guna mengungkap sebuah kasus.
"Akhirnya hanya berdasarkan pengakuan tersangka, rata-rata kalau soal salah tangkap ini biasanya [juga berkaitan dengan] kasus penyiksaan," tuturnya.
![Menguak Fenomena Salah Tangkap di Institusi Polri [UNKOMPLET]](https://akcdn.detik.net.id/community/media/visual/2015/04/24/bf923375-d45f-44a5-b47a-4b11b353ebb2_169.jpg?w=620) Ilustrasi polisi. (REUTERS/Beawiharta) |
Pada banyak kasus, kata Arif, masih ada tekanan fisik yang dilakukan oknum polisi dalam membuka mulut seseorang agar mengaku melakukan tindak pidana lewat metode interogasi tertentu.
"Makanya jangan heran kalau misalnya banyak kasus-kasus salah tangkap ini juga didominasi oleh kasus-kasus penyiksaan," ujar Arif.
Arif mencontohkan seseorang membuat laporan tentang kasus tindak pidana ke kepolisian. Pada tahap ini pihak pelapor menuntut kepolisian untuk segera menyelesaikan kasus tersebut. Hal itu yang kemudian kerap memicu terjadinya peristiwa salah tangkap.
"Mau tidak mau harus cepat-cepat selesaikan kasus, urusan barang bukti, saksi-saksi urusan belakangan, yang penting dapat pengakuan dulu," ujarnya.
Pengacara publik LBH Jakarta Oky Wiratama menyatakan kepolisian mesti melakukan evaluasi dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Alasannya, menurut Oky, kerap kali penyidik cenderung fokus untuk mengejar pengakuan tersangka dengan berbagai cara. Termasuk, cara-cara yang bertentangan dengan HAM.
Itulah yang dialami empat pengamen penggugat di PN Jaksel. Salah satu korban salah tangkap itu, Arga alias Ucok (19), yang pada 2013 berusia 13, mengakui tindak pidana yang dituduhkan padanya karena mendapat tekanan dari polisi.
Saat ditemui pada Rabu (17/7) di PN Jaksel, ia mengatakan terpaksa mengaku karena disiksa, padahal semula dia hanya ingin memberi kesaksian soal mayat korban pembunuhan di kawasan Cipulir, Tangerang Selatan.
Ucok lalu terpaksa mengaku karena enggan disiksa lagi. Kedua temannya pun, kata dia, memintanya mengaku saja daripada dipukuli lagi.
"Habis dari Polsek dibawa ke Polda [Polda Metro Jaya] saya diinjak [badannya]. Dibawa ke lapangan. Setelah itu dibawa ke TKP di kolong jembatan. Itu saya dikemplangin lah kepala. Dikerubutin polisi," jelas dia.
Saat itu, Ucok mengatakan tidak diberikan pendampingan hukum. Padahal, pihaknya masih tergolong anak di bawah umur dan wajib mendapatkan pendampingan. Hal itu lah, lanjut dia, yang membuatnya tidak dapat mengambil keputusan secara tepat.
Berlanjut ke halaman berikutnya: Evaluasi Kultur, Mentalitas, Manajemen Perkara Polisi.
[Gambas:Video CNN]
Oky menilai Korps Bhayangkara bisa melakukan evaluasi dengan cara mengkaji ulang apakah proses penyelidikan dan penyidikan sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Jika ditemukan ada yang salah, maka harus diperbaiki. Instrumennya sudah ada, mulai dari ICCPR, UU HAM,
convention against torture yang sudah di ratifikasi Indonesia, hingga Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi standar HAM dalam penyelenggaraan tugas kepolisian," tutur Oky.
Oky mengatakan untuk mekanisme evaluasinya juga sudah tersedia yakni bisa membuat laporan ke Propam, Irwasum, Kompolnas, hingga laporan ke Ombudsman.
"Tinggal memaksimalkan penegakan instrumen dan mekanisme pelaporannya evaluasinya saja," katanya.
Sementara itu peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, berpendapat fenomena salah tangkap terjadi karena ketergesaan dan ingin cepat membereskan kasus yang membuat penyelidikan hingga penyidikan hanya pada yang tampak atau dangkal sehingga terjadilah penyidikan hingga peradilan sesat di ujungnya.
"Reputasi kepolisian dibangun atas dasar angka-angka statistik, di antaranya mengenai kesuksesan pengungkapan dan penanganan kasus kejahatan. Sukses di sini artinya ada tersangka, dapat ditangkap, dilakukan penyidikan, hingga diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Jadi, kalau salah tangkap itu berujung penjara, maka jaksa dan hakim juga ikut salah," ujar Khairul saat dihubungi kemarin.
Oleh karena itu, ia menilai fenomena yang terjadi bukan sekedar persoalan teknis penyelidikan hingga penyidikan, namun perlu ada evaluasi atas kultur organisasi, mentalitas personel, dan manajemen perkara. Jika dibiarkan, kata dia, bisa memengaruhi persepsi masyarakat atas penegak hukum yang berpotensi memicu legitimasi dan ketidaktertiban sosial.
"Polri di masa kepemimpinan Kapolri Tito Karnavian ini punya slogan 'profesional, modern, terpercaya' yang disingkat Promoter. Sebaiknya itu bukan sekadar tulisan, tapi ditegakkan sebaik-baiknya," tantang Khairul.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menyampaikan pemeriksaan atas kasus salah tangkap tersebut seharusnya ditanggapi Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
"(Pemeriksaan) untuk melihat apakah ada pelanggaran hukum, etik dan disiplin yang mungkin dilakukan," ujar Poengky.
Menurut Poengky ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus salah tangkap. Misalnya, kata dia, adanya kekeliruan karena identitas atau nama yang mirip. Poengky mengatakan seharusnya sudah ada pengawas internal dan eskternal terkait dengan proses penyelidikan dan penyidikan kepolisian sehingga tidak terjadi salah tangkap yang berujung peradilan sesat karena mengadili yang tak bersalah.
Kompolnas, lanjutnya, bakal selalu menindaklanjuti laporan dari para korban jika memang ada laporan kepada pihaknya.
"Kalau ada laporan pasti ditindaklanjuti, kalau tidak ada laporan, kami susah menindaklanjuti," ucapnya.