ANALISIS

Pelajaran Bagi Polri dari Peradilan Korban Salah Tangkap

CNN Indonesia
Jumat, 19 Jul 2019 08:11 WIB
Korps Bhayangkara tak bisa menutup diri pada data temuan korban salah tangkap yang disertai penyiksaan oknum polisi. Evaluasi Polri merupakan keharusan.
Ilustrasi. (Istockphoto/chinaface)
Oky menilai Korps Bhayangkara bisa melakukan evaluasi dengan cara mengkaji ulang apakah proses penyelidikan dan penyidikan sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Jika ditemukan ada yang salah, maka harus diperbaiki. Instrumennya sudah ada, mulai dari ICCPR, UU HAM, convention against torture yang sudah di ratifikasi Indonesia, hingga Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi standar HAM dalam penyelenggaraan tugas kepolisian," tutur Oky.

Oky mengatakan untuk mekanisme evaluasinya juga sudah tersedia yakni bisa membuat laporan ke Propam, Irwasum, Kompolnas, hingga laporan ke Ombudsman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tinggal memaksimalkan penegakan instrumen dan mekanisme pelaporannya evaluasinya saja," katanya.


Sementara itu peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, berpendapat fenomena salah tangkap terjadi karena ketergesaan dan ingin cepat membereskan kasus yang membuat penyelidikan hingga penyidikan hanya pada yang tampak atau dangkal sehingga terjadilah penyidikan hingga peradilan sesat di ujungnya.

"Reputasi kepolisian dibangun atas dasar angka-angka statistik, di antaranya mengenai kesuksesan pengungkapan dan penanganan kasus kejahatan. Sukses di sini artinya ada tersangka, dapat ditangkap, dilakukan penyidikan, hingga diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Jadi, kalau salah tangkap itu berujung penjara, maka jaksa dan hakim juga ikut salah," ujar Khairul saat dihubungi kemarin.

Oleh karena itu, ia menilai fenomena yang terjadi bukan sekedar persoalan teknis penyelidikan hingga penyidikan, namun perlu ada evaluasi atas kultur organisasi, mentalitas personel, dan manajemen perkara. Jika dibiarkan, kata dia, bisa memengaruhi persepsi masyarakat atas penegak hukum yang berpotensi memicu legitimasi dan ketidaktertiban sosial.

"Polri di masa kepemimpinan Kapolri Tito Karnavian ini punya slogan 'profesional, modern, terpercaya' yang disingkat Promoter. Sebaiknya itu bukan sekadar tulisan, tapi ditegakkan sebaik-baiknya," tantang Khairul.


Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menyampaikan pemeriksaan atas kasus salah tangkap tersebut seharusnya ditanggapi Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.

"(Pemeriksaan) untuk melihat apakah ada pelanggaran hukum, etik dan disiplin yang mungkin dilakukan," ujar Poengky.

Menurut Poengky ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus-kasus salah tangkap. Misalnya, kata dia, adanya kekeliruan karena identitas atau nama yang mirip. Poengky mengatakan seharusnya sudah ada pengawas internal dan eskternal terkait dengan proses penyelidikan dan penyidikan kepolisian sehingga tidak terjadi salah tangkap yang berujung peradilan sesat karena mengadili yang tak bersalah.

Kompolnas, lanjutnya, bakal selalu menindaklanjuti laporan dari para korban jika memang ada laporan kepada pihaknya.

"Kalau ada laporan pasti ditindaklanjuti, kalau tidak ada laporan, kami susah menindaklanjuti," ucapnya.

(dis/kid)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER