Jakarta, CNN Indonesia -- Gonjang-ganjing rekonsiliasi politik hingga prediksi bakal masuknya
Gerindra ke dalam koalisi pendukung Joko Widodo (
Jokowi) semakin santer usai Prabowo Subianto bertamu ke rumah Ketum
PDIP Megawati Soekarnoputri.
Pada Kamis (25/7), Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Moeldoko, mengatakan tak menutup kemungkinan ada parpol baru bergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK). Ia pun memberikan istilah 'Koalisi Plus-plus'.
Selain Gerindra, setidaknya ada dua parpol yang pada Pilpres 2019 berseberangan dengan Jokowi-Ma'ruf yakni PAN dan Demokrat disebut-sebut ingin masuk ke dalam koalisi pemerintahan.
Menanggapi hal itu, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengatakan kemungkinan terbesar yang ada saat ini adalah Gerindra yang berpeluang besar bergabung dengan koalisi pemerintah sebagai koalisi plus-plus itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau cuma koalisi Jokowi saat ini enggak mungkin disebut sebagai koalisi plus-plus. Yang paling mungkin dibaca saat ini yang akan bergabung Gerindra," kata Adi kepada
CNNIndonesia.com saat dihubungi, Jumat (26/7).
Adi pun menilai lawatan Prabowo dan rombongan Gerindra yang disambut Megawati beserta jajaran PDIP pada 24 Juni lalu bukanlah perjamuan kawan lama saja. Termasuk pula pertemuan antara Prabowo dan Jokowi di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) berujung makan siang bersama di kawasan Senayan pada 13 Juli lalu.
Ia berpendapat perbincangan mengenai peluang bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi atau mendapatkan jatah janji tertentu diperbincangkan dalam dua pertemuan tersebut.
"Mungkin hampir pasti Gerindra bakal menjadi bagian dari koalisi," ujarnya.
Presiden terpilih Jokowi (kanan) berbincang dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto (kiri) di dalam gerbong kereta MRT Jakarta, 13 Juli 2019. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Bagi Adi, ketika Gerindra memutuskan bergabung dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf, akan membuat kekuatan oposisi tak berimbang. Apalagi, jika parpol-parpol yang ada di dalam koalisi saat ini pun setuju dengan masuknya Gerindra.
Selain akan mengurangi jumlah kekuasaan oposisi secara signifikan, peran oposisi dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang mekanismenya berakhir lewat sistem
voting di parlemen juga akan berkurang secara drastis.
"[Di Parlemen] hanya sedikit saja yang menggunakan asas musyawarah atau mufakat, itu selebihnya voting terutama menyangkut keputusan-keputusan terkait kebangsaan," ujar Adi.
Selain itu, Adi juga mengkhawatirkan risiko obesitas kekuasaan akan berpengaruh pada kinerja koalisi gemuk pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf kelak. Kebijakan politik juga akan lambat untuk dieksekusi karena terlalu banyak kepentingan politik yang harus diakomodasi.
"Justru [kebijakan] berlarut-larut karena internal koalisi terjadi silang opini atau pendapat yang terlalu banyak," katanya.
Kesepakatan Paling Masuk AkalPeneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes berpendapat andai Jokowi menggandeng Gerindra ke dalam koalisi, maka ada dua kesepakatan yang dinilai paling masuk akal.
"Soal alokasi kursi di kabinet. Atau bisa juga komposisi pimpinan MPR, itu yang paling masuk akal," kata Arya.
Serupa Arya, Adi pun berpendapat dua kesepakatan itu yang paling masuk akal. Apalagi, kata dia, Gerindra membicarakan jatah dua menteri maupun posisi kursi wakil rakyat dengan kubu Jokowi itu sudah terlanjur berkembang di publik.
Untuk jatah-jatah kursi tersebut, Arya mengatakan menjadi pekerjaan rumah bagi Jokowi guna merayu parpol-parpol lain dalam koalisinya saat ini. Apalagi, empat parpol di dalam koalisi yakni NasDem, PKB, PPP, dan Golkar sudah melakukan pertemuan serta sepakat tak ada menyetujui tambahan parpol baru.
"Potensi retaknya koalisi [saat ini] akan muncul," kata Arya.
Namun, Juru Bicara TKN Arya Sinulingga membantah terjadi keretakan di dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf saat ini. Ketua DPP Perindo itu menegaskan koalisi Jokowi-Ma'ruf masih solid.
"Kami masih mengalir saja untuk rekonsiliasi. Setelah ini mungkin ya baru bisa terjadi [
deal]," ujarnya.
Selain itu soal wacana bergabungnya parpol lain ke dalam koalisi, Arya mengatakan bukan hanya Gerindra yang berpeluang. Dia pun tak memungkiri soal pembicaraan mengajak Gerindra untuk bergabung. Namun, sambungnya, hal itu terjadi di level teknis, bukan oleh Jokowi maupun Megawati.
"Semua partai yang ada di kubu Pak Prabowo bisa saja ya. Gerindra ya bisa saja, tapi harus dibicarakan dengan semua. Tidak menutup ruang untuk Gerindra juga di koalisi ini," katanya.
[Gambas:Video CNN] (ani/kid)