Karawang, CNN Indonesia --
'Ojek limbah', begitulah sebutan tumpuan nafkah warga yang dulunya melaut sebagai nelayan di desa-desa pesisir Kabupaten
Karawang, Jawa Barat saat ini harus berjibaku dengan tumpahan
minyak mentah di laut.
Mereka terpaksa menjadi ojek limbah setelah tak bisa melaut lagi akibat kebocoran minyak di blok Offshore North West Java (ONWJ) pada 12 Juli lalu. Minyak mentah yang hitam pekat itu pun mengambang di atas air laut dan terbawa ke bibir pantai.
Sementara itu, kebocoran minyak mentah anak perusahaan PT Pertamina itu pun disinyalir mengancam biota laut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mempercepat pembersihan limbah minyak mentah tersebut, warga pun dikerahkan untuk membantu menggaruknya dari kawasan pesisir. Bagi mereka kemudian diberi uang lelah yang dihitung per kilogram dikumpulkannya.
Salah satu warga nelayan yang beralih menjadi 'ojek limbah' ada di Desa Sungai Buntu.
 Warga membawa karung berisi pasir yang tercemar tumpahan minyak mentah (Oil Spill) di pesisir Pantai Cemarajaya, Karawang. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Saat
CNNIndonesia.com berkunjung ke sana pada 20 Agustus lalu, salah satu warga mengatakan julukan 'ojek limbah' itu disematkan karena mereka menggunakan sepeda motor untuk mengangkut karung-karung limbah minyak bercampur pasir.
Sekali angkut, setiap orang bisa membawa sekitar 4 sampai 5 karung limbah dengan sepeda motornya. Rata-rata per karungnya berbobot sekitar 15 kg hingga 20 kg.
Setelah mengumpulkannya di karung, jumlah karung limbah dan bobotnya masing-masing akan dihitung terlebih dahulu di setiap titik pengambilan. Ada 6 titik pengambilan limbah di Desa Sungai Buntu yakni Pantai Alam Baru, Galangan Kapal, Pantai Pelangi, Pantai Samudera Baru, Pantai Jalasena dan Sungai Tegal.
Para pengemudi dan sepeda motor yang penuh dengan karung-karung limbah itu berkumpul di pos penghitungan di titik pengambilan itu. Penghitungan dilakukan seorang anggota TNI.
Saat dihitung, puluhan sepeda motor itu berbaris rapih. Di depannya dipasangkan tali pembatas di antara dua tiang kayu layaknya sepeda motor balap sebelum memulai balapan.
Setelah dihitung, mereka akan bergegas, menyalakan mesin motor dengan garang dan meneriakkan berbagai kata-kata penyemangat.
"
Yoook, ayooo," seru mereka.
 Warga menggunakan motor untuk mengangkut karung yang berisi tumpahan minyak mentah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Saat petugas melepaskan tali pembatas itu, mereka lantas 'kebut-kebutan' mengendarai sepeda motornya ke kantor Kepala Desa Sungai Buntu sebagai tempat pusat pengumpulan limbah.
Sekali angkut mereka diberi upah Rp15.000 hingga Rp25.000, tergantung jauhnya titik pengambilan hingga pusat pengumpulan. Mereka bekerja 8 jam sehari yakni dari pukul 08.00 WIB sampai 16.00 WIB.
Dengan upah yang tidak seberapa, paling tidak para 'eks' nelayan itu harus bolak-balik mengangkut karung limbah di mana rata-rata maksimal sampai 5 kali dengan total yang bakal diraih paling tidak sekitar Rp100.000 per harinya. Pembayaran upah itu dilakukan setiap 3 hari sekali. Oleh karena itu, kebut-kebutan mengejar upah menjadi cara satu-satunya bagi mereka untuk mengais rezeki.
Salah seorang ojek limbah, Ibadah, 50, mengaku penghasilannya dari ojek limbah itu benar-benar tidak sebanding dengan apa yang ia bisa dapat sebagai seorang nelayan.
"Biasanya kalau enggak ada limbah mah lumayan penghasilannya. Rp500.000 bisa sehari [dari tangkapan di laut]," kata Ibadah yang sedang beristirahat bersama rekan-rekannya di sebuah gubuk di Pantai Pelangi, Sungai Buntu, Selasa (20/8).
Ia pun mengatakan jika beruntung dirinya bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp1 juta dari pelelangan ikan dalam sehari.
Akhirnya, ojek limbah pun dilakoninya daripada sama sekali tak mendapat penghasilan sebab kebocoran minyak mentah di laut.
"Kalau [penghasilan] sekarang enggak ada Rp200.000, Rp100.000, Rp50.000," kata dia.
Ibadah pun mengaku belum mendapatkan kompensasi apapun dari pihak PT Pertamina. Ia berharap perusahaan itu bisa mengganti kerugian profesinya setiap hari yakni minimal Rp500.000 per hari.
 Tumpahan minyak membuat ikan-ikan mati sehingga para nelayan kehilangan mata pencaharian. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sama seperti Ibadah, Usman (52) merasa kesulitan mencari ikan dan terpaksa ikut mengambil limbah.
"Ikannya nyari tempat aman pasti ke ujung, ke tengah, menghindari [limbah]," kata Usman.
Ditanyai bagaimana ia menyiasati kesulitan tersebut, Usman juga pesimis dengan penghasilan dari mengangkut karung-karung limbah itu.
"Ya sisanya Rp50.000 lah," kata Usman seraya terkekeh. Pendapatan bersih Rp50.000 itu, kata Usman, setelah dipotong bensin hingga makan.
300-an Ojek LimbahPenanggung jawab harian Kelompok Pekerja Pemberdaya Masyarakat Pesisir (KPMP) di kantor Kepala Desa Sungai Buntu, Sarta, mengatakan ada sekitar 300 ojek limbah yang bekerja setiap harinya di lokasi itu.
"300 orang itu bukan itu-itu saja, tiap hari ganti lagi, giliran lagi, jadi semua warga berhak," kata dia.
Menurut Sarta, mereka bukan hanya yang awalnya berprofesi sebagai nelayan saja. Ada pula yang semula pedagang maupun anak muda lain yang juga turut ambil andil membersihkan limbah dari pantai.
Sarta menerangkan setelah limbah-limbah dikumpulkan di kantor kepala desa itu, lalu diangkut kembali menggunakan mobil boks. Jumlah mobil yang mengangkut tidak sama setiap hari, tergantung kebutuhan jumlah karung limbah.
Di sana juga, KPMP memiliki pos untuk mendata ulang jumlah karung dan bobotnya.
'Satu mobil, 400 karung [kapasitasnya], bisa dua, bisa tiga [setiap hari], kalau 10 mobil sudah 4 ribu karung," katanya.
 Warga menggunakan motor untuk mengangkut karung yang berisi tumpahan minyak mentah yang tercecer. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ibu-ibu Terjun ke Pantai Kumpulkan Limbah MinyakPenghasilan ojek limbah memang tidak seberapa untuk mencukupi kebutuhan hidup setiap keluarga yang sangat bergantung dari hasil tangkapan laut. Alhasil, ibu-ibu pun terpaksa membantu suami mereka mencari limbah agar upah itu bisa disatukan dan menjadi lebih banyak.
Salah satunya yang terlihat saat
CNNIndonesia.com mendatangi pesisir Desa Cemara Jaya, Karawang. Ibu-ibu yang merupakan istri nelayan itu sama-sama mengambil limbah. Para wanita dewasa itu terlihat turut berpakaian lengkap dengan pengaman seperti sepatu bot, sarung tangan, dan masker.
"Kan enggak pada berangkat ke laut. Suami kan ngangkut [limbah], enggak ada kerja. Kasihan [kalau suami sendirian], buat makan, biar ada penghasilan," kata Kastini (40) yang mengaku diberi upah Rp100 ribu per hari oleh PT Pertamina.
Para istri nelayan yang kami temui hanya memasukkan limbah-limbah minyak yang bercampur pasir itu ke dalam karung, sebelum diangkut warga lain ke titik pengumpulan.
Kastini dan sembilan orang temannya berada dalam satu kelompok ibu-ibu pencari limbah itu. Ia mengatakan biasanya 1 kelompok paling banyak beranggotakan 10 orang.
"Sehari dapat 600, 400 karung, cuma ibu-ibu saja, satu kelompok," jawab Kastini soal berapa karung yang bisa ia dan kelompoknya rata-rata kumpulkan dalam sehari..
 Ibu-ibu pun turun tangan untuk membersihkan tumpahan minyak di pantai. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Mereka bekerja di tengah terik matahari, cipratan air laut, harus menghirup bau minyak meski telah bermasker, dan membungkuk seharian. Kastini dan lainnya mencoba meringankan beban tersebut sambil sesekali bersenda gurau dengan sesamanya.
Kastini pun masih sempat berpose dengan senyum saat kami hendak memotretnya.
Kegiatan bersih-bersih area bibir pantai di wilayah Karawang itu sendiri sudah berlangsung sejak sekitar lebih dari sebulan terakhir.
Sementara itu, seperti dilansir
Antara, berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Karawang, dalam sehari ada sekitar 2.000 karung limbah minyak mentah yang terkumpul.
Pada 30 Juli lalu, Vice President Relations PHE ONWJ Ifki Sukarya menerangkan insiden bocornya minyak mentah itu bermula saat dilakukan pengeboran sumur reaktivasi YYA-1 pada Jumat, 12 Juli 2019.
[Gambas:Video CNN] (ani/kid)