Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar dihadirkan Jaksa Penuntut Umum sebagai saksi ahli untuk kasus dugaan
korupsi proyek PLTU Riau-I dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN
Sofyan Basir. Dalam persidangan, Fickar menjelaskan secara rinci pasal-pasal yang didakwakan kepada Sofyan.
Dalam kasus ini, Sofyan Basir didakwa memberikan kesempatan, sarana dan keterangan agar sejumlah pihak menerima suap terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Jaksa penuntut umum KPK menyebut pihak yang dimaksud adalah mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih; pengusaha Blackgold Natural Resources, Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo; dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fickar mengatakan jaksa penuntut umum tidak melanggar kaidah hukum perihal pengaitan pasal suap dengan pasal pemufakatan jahat yang disematkan kepada Sofyan.
"Artinya, jika bentuk dakwaan yang menjunctokan pasal suap di Pasal 56 kemudian dijunctokan Pasal 15 tidak
overlapping ya, dalam bentuk dakwaannya sudah sesuai dengan kaidah hukum?" tanya penuntut umum kepada Fickar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (26/8).
"Iya, karena di Pasal 15 khusus mengatur soal ancaman itu," jawabnya.
Sofyan didakwa dengan Pasal suap yakni pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, ia juga dikenakan juncto Pasal 15 UU Tipikor dan Pasal 56 ayat (2) KUHP yang mengatur mengenai pemufakatan jahat.
Pasal terkait pemufakatan jahat yang termuat dalam Pasal 56 ayat (2) KUHP berbunyi: 'Dipidana sebagai pembantu kejahatan, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan'.
Menurut Fickar, tidak ada tumpang tindih dalam pasal yang didakwakan kepada Sofyan. Dia beralasan Pasal 56 itu hanya menguraikan unsur, tidak ada kualifikasi hukumannya, karena itu harus dijunctokan ke Pasal 15 UU Tipikor.
Adapun Pasal 15 UU Tipikor berbunyi, 'Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14'.
"Pasal 15 menegaskan bahwa percobaan pembantuan dan pemufakatan itu hukumannya sama dengan pasal-pasal korupsi yang dituduhkan," ujar Fickar.
Terkait dengan Pasal 56 ayat (2) KUHP yang mengatur tentang memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan, Fickar mengatakan unsur dalam pasal itu bersifat alternatif. Ia berujar seseorang bisa dipidana tanpa harus melakukan semua perbuatan dalam unsur di pasal tersebut.
"Kesempatan atau sarana atau keterangan, bisa salah satu, bisa juga kumulatif seluruhnya," imbuhnya.
[Gambas:Video CNN] (ryn/wis)