Jakarta, CNN Indonesia --
Istana Kepresidenan belum bisa bicara banyak terkait keputusan DPR yang berinisiatif mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK).
Dalam Rapat Paripurna, Kamis (5/9), seluruh fraksi di Senayan telah sepakat atas revisi UU KPK itu.
Staf Khusus Presiden Adita Irawati meminta agar menunggu jalannya pembahasan revisi UU KPK. Adita menyatakan bahwa revisi ini memang menjadi ranah DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita tunggu saja jalannya pembahasan. Ini kan memang ranahnya DPR," kata Adita saat dikonfirmasi lewat pesan singkat.
Adita tak menjawab saat ditanya apakah Presiden Joko Widodo setuju dengan revisi UU KPK.
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Yanuar Nugroho mengaku belum tahu persis dan masih mempelajari rencana yang diambil oleh DPR itu. Yanuar pun belum bisa berkomentar.
"Soal di atas (revisi UU KPK) masih kami pelajari, belum bisa berkomentar," kata Yanuar dikonfirmasi terpisah.
Ia mengaku belum mendapatkan draft revisi UU KPK yang disepakati di rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, 3 September lalu. Ia
"Saya tidak tahu, Mas. Masih mencari info. Belum ke ruangan. Ini rapat terus nonstop sejak pagi," ujarnya.
Sebelumnya, DPR sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu juga telah menyepakati draft rancangan revisi UU KPK dalam rapat Baleg. Seluruh fraksi menyatakan setuju di Rapat Paripurna hari ini.
Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK. Hal itu diketahui dari laporan pimpinan Baleg DPR yang ditandangani oleh Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dan salinannya beredar di kalangan wartawan sejak Rabu (4/9).
Poin-poin pokok itu antara lain berkaitan dengan keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
(fra/arh)