Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur PT Cahaya Timur Papua, Nicolas Tampang Allo mengakui memberikan fee 9 persen dari total nilai proyek yang didapat dari kucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. Kesaksian itu diungkapkan saat persidangan dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Pegunungan Arfak, Natan Pasomba.
Perusahaan kontraktor milik Nicolas merupakan salah satu yang rutin memperoleh proyek sejak 2016 dari anggaran DAK.
"Yang saya ingat, pertama yang saya terima, menang tender itu Rp13 M, untuk pembukaan dan pengerasan jalan di Distrik Anggi," kata Nicolas dalam kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (16/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komisi atau fee 9 persen yang disetor itu kata Nicol, dihitung dari total nilai proyek yang didapat perusahaannya setelah dikurangi pajak.
Dalam persidangan terungkap, pertama kali pemberian 'fee' dilakukan pada akhir 2016. Saat itu, setoran awal sebesar Rp300 juta menurut Nicol diberikan di area parkir salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat.
"Saudara itu kan uang Rp300 juta itu kan banyak, saudara bungkus pakai apa?" tanya Hakim Iim Nurohim.
"Saya bungkus pakai tas kresek hitam, tapi di dalamnya saya kasih koran atau kertas cokelat saya sudah lupa," jawab Nicolas.
Ia pun mengatakan duit itu diserahkan langsung ke Kepala Seksi Perencanaan DAK fisik Dirjen Kemenkeu, Rifa Surya. "Waktu itu ada saya, Pak Natan, Pak Rifa dan Pak Sovian," lanjut Nicol.
Nicolas mengungkapkan, bahwa ketika itu dana DAK memang belum dikucurkan dan proyek pun belum ada. Meski begitu dirinya sudah diminta terlebih dulu untuk menyetorkan duit 'fee'.
"Apakah waktu itu saudara dijanjikan akan mendapatkan proyek?" tanya Hakim Iim Nurohim dalam persidangan.
"Tidak dijanjikan, tapi Pak Natan bilang itu uang untuk pengurusan DAK Kabupaten Pegunungan Arfak," jawab Nicol.
Dia pun melanjutkan, baru kemudian diketahui bahwa dana DAK pada 2016 digunakan untuk proyek di Dinas PUPR Kabupaten Pegunungan Arfak yakni untuk pembiayaan proyek pembuatan jalan baru. Proyek itu kemudian ditangani oleh perusahaan konstruksi milik Nicolas.
Jaksa Penuntut Umum KPK sempat mempertanyakan mengapa perusahaan Nicolas selalu yang memenangi tender. Padahal di Papua Barat terdapat banyak kontraktor serupa.
"Dengan ada banyak perusahaan kontraktor bidang fisik, kenapa yang diajak komunikasi itu cuma dua perusahaan termasuk milik Anda?" tanya jaksa penuntut umum dari KPK.
"Saya tidak tahu," jawab Nicolas.
"Yang saya lihat dari BAP saudara, untuk APBN 2017 yang cair di 2017 itu Rp30 miliar. Sedangkan proyek yang saudara terima untuk pembangunan jalan itu sudah Rp13,2 M dan saudara Sovian itu terima untuk jalan itu Rp5,5 M dan Rp9 M. Jadi DAK 2017 itu habis cuma untuk kalian berdua saja," tutur Jaksa KPK.
"Iya," ujarnya.
Persidangan juga mengungkap bahwa Nicolas tercatat beberapa kali memberikan duit fee baik secara langsung maupun menstranfer ke rekening PT Dipantara Inovasi Teknologi. Rekening ini pula yang dalam dakwaan disebut mengirim uang fee ke Sukiman, Rifa dan Suherlan.
Dalam kasus ini, Natan diduga memberikan suap kepada anggota DPR dari Fraksi PAN, Sukiman. Total suap sebesar Rp2,6 miliar dan USD 22 ribu itu diduga untuk memuluskan pengajuan DAK Kabupaten Pegunungan Arfak pada APBN-P 2017 dan APBN 2018 di Kementerian Keuangan.
Sebelumnya dalam sidang dakwaan, Jaksa Penuntut Umum KPK menyebut Natan melakukan suap bersama Bupati Pegunungan Arfak Yosias Saroy, serta Staf Dinas PU Pegunungan arfak Sovian Latilipu dan Nicholas Tampang Allo.
Selain Sukiman, Natan juta memberikan suap kepada Kepala Seksi Perencanaan DAK fisik Dirjen Kemenkeu, Rifa Surya sebesar Rp1 miliar dan Tenaga Ahli anggota DPR F-PAN, Suherlan sebesar Rp400 juta.
(ika/ain)