Jakarta, CNN Indonesia --
Koalisi Masyarakat Sipil membuka peluang menguji materi
Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang hasil revisinya baru saja disahkan Dewan Perwakilan Rakyat hari ini.
Koalisi selama ini gencar menolak revisi UU KPK karena dinilai justru melemahkan lembaga antirasuah. Namun penolakan ini tak digubris dan RUU KPK tetap disahkan.
Hingga detik akhir pengesahan oleh DPR, Selasa (17/9) Koalisi Masyarakat Sipil masih menggelar aksi di gedung wakil rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pantauan di depan Gedung Parlemen, Jakarta, massa aksi membawa dan membentangkan poster yang bertuliskan '#Reformasi Dikorupsi Jokowi Ingkar Janji, Tolak RUU KPK'.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang juga salah satu peserta aksi Lalola Easter mengatakan, uji materi ke Mahkamah Konstitusi adalah hal yang paling mungkin dilakukan secara formil.
"Itu (uji materi) langkah yang sejauh ini masih memungkinkan," kata Easter di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9).
Menurutnya upaya tersebut masih didiskusikan bersama dengan anggota koalisi lain. Pasalnya, revisi UU KPK ini baru saja disahkan.
"Ini masih sangat baru kejadiannya jadi masih perlu diskusi lebih lanjut juga, kira-kira langkah apa yang bisa diambil oleh koalisi sipil," kata Lola.
 Logo KPK ditutup kain hitam sebagai simbol penolakan pada upaya pelemahan. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Ia mengatakan pihaknya masih belum mendapatkan draf resmi dari revisi UU KPK yang disahkan. Pihaknya juga masih perlu melalukan pengecekan terkait dengan rumusan detail pasal di revisi UU KPK.
"Jadi kita harus cek kembali bagaimana rumusan pasalnya dalilnya dalam UU tersebut yang bisa dijadikan materi dalam pengujian UU," kata Lola.
Sementara Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang juga anggota koalisi mengatakan DPR tidak mendengar aspirasi masyarakat dengan mengesahkan revisi UU KPK.
Asfnawati mengaku sudah bisa menduga hal ini. Menurutnya revisi ini juga satu paket dengan pemilihan pimpinan KPK baru yang juga dikritik.
"Sejak awal telah dipilih pansel yang memiliki konflik kepentingan.Ada narasi serupa dengan ada yang di dalam RUU KPK para pimpinan yang duduk di KPK. Yaitu pelemahan fungsi penyidikan, penyelidikan, penyadapan, dan OTT misalnya," katanya.
Sebelumnya, Persetujuan revisi UU KPK diambil dalam Rapat Paripurna kesembilan tahun sidang 2019-2020 yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).
"Tahapan pengesahan, kita lakukan tahapan ini, setelah itu kita bisa berikan nota," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.
Revisi UU KPK ini mendapat penolakan dari sejumlah pihak, termasuk pegiat antikorupsi dan KPK sendiri. Meski begitu, revisi UU KPK ini jalan terus.
Bahkan Presiden Joko Widodo sudah menyetujui sejumlah poin dalam revisi UU KPK tersebut, termasuk soal dewan pengawas dan SP3 yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu upaya pelemahan KPK.
Dalam rapat ini, Fahri juga memberi kesempatan pendapat pemerintah terkait revisi UU KPK yang diwakilkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Yasonna mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui revisi UU KPK disahkan menjadi undang-undang.
"Presiden setuju Rancangan Undang-undang tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) disahkan menjadi undang-undang," kata Yasonna.
[Gambas:Video CNN] (sah/sur)