Rapor Merah DPR: Galak ke KPK, Mesra dengan Rezim Jokowi

Ramadhan Rizki | CNN Indonesia
Senin, 30 Sep 2019 07:05 WIB
DPR periode 2014-2019 tak produktif menyusun aturan perundangan atau menjalankan fungsi legislasi. Namun sebulan belakangan gencar mengetok UU kontroversial.
Masyarakat sipil berdemonstrasi di depan Gedung DPR menolak revisi UU KPK. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdhanil menambahkan catatan penting. Menurutnya, produk legislasi DPR belum sepenuhnya menjawab kebutuhan pokok masyarakat. Dengan kata lain dia menyebut DPR dan pemerintah tak cermat dan peka dalam memprioritaskan RUU yang harus disahkan.

Fadli menyebut terdapat sejumlah RUU yang penting untuk dibahas namun belum juga disahkan oleh DPR dan pemerintah. Di antaranya adalah Revisi UU Partai Politik, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal hingga RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

"Soal RUU Parpol sudah masuk Prolegnas tak dibahas juga. Perlu sekali perbaikan UU Pilkada untuk mengharmonisasi. Pengaturannya sangat mendesak karena tahapan Pilkada akan dimulai," kata dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"DPR malah semangat merevisi UU lain, yang kepentingannya jauh lebih banyak kepada hal yang pragmatis saja," ujarnya lagi, merujuk revisi UU KPK dan MD3 yang baru disahkan pekan lalu.

Fadli tak menampik DPR bukan merupakan satu-satunya aktor dalam pembahasan dan penyusunan legislasi. Ada peran pemerintah di dalamnya untuk secara bersama-sama menyusun.

"Tapi DPR seharusnya dapat memaksimalkan perannya sebab DPR merupakan pemegang kekuasaan pembentukan Undang-Undang," kata dia.

Soal Anggaran, DPR Kurang Hati-hati

Sementara itu dalam aspek anggaran, DPR terkesan kurang hati-hati dan hilang daya kritisnya saat membahas pagu indikatif anggaran bagi kementerian atau lembaga bersama-sama dengan pemerintah.

Hal itu terlihat dari temuan hasil pembahasan rencana pagu indikatif anggaran untuk institusi negara untuk tahun 2020 mendatang.

Formappi mencontohkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

DPR sudah menyetujui penambahan pagu anggaran bagi Kementerian PUPR sebesar Rp16 triliun dari pagu yang sudah ditetapkan sebesar Rp103.8 triliun di APBN untuk tahun depan.

Sementara untuk Kemenpora, DPR telah menyepakati kenaikan pagu anggaran sebesar Rp555 miliyar dari pagu yang sudah ditetapkan sebesar Rp1.4 triliun untuk tahun depan.

Formappi menyatakan seharusnya dua kementerian itu tak layak memperoleh persetujuan kenaikan pagu anggaran dari DPR untuk tahun anggaran 2020 mendatang. Sebab, dua kementerian tersebut masih memperoleh opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.

Ketentuan itu diatur dalam regulasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235 tahun 2015 tentang Tata Cara Pemberian Penghargaan dan Pengenaan Sanksi Atas Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga. Permen menyebut kementerian/lembaga berhak untuk mengajukan penambahan anggaran bila mendapat opini WTP dari BPK.

Menteri KKP Susi Pudjiastuti saat rapat dengan DPR. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Untuk KemenPUPR, masalahnya tak sekadar mendapat laporan WDP dari BPK. Bila menilik ke belakang, serapan anggaran KemenPUPR pun tergolong rendah.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 285 tahun 2015 menyebut salah satu syarat untuk memperoleh kenaikan anggaran jika serap anggarannya minimal 95%.

Di sisi lain, data Kementerian PUPR per 4 November 2018 tertera bahwa kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono baru menyerap Rp 72,56 triliun dari total pagu anggaran tahun 2018 sebesar Rp106,9 triliun.

Persoalan lain dalam tubuh KemenPUPR adalah kerap berurusan dengan KPK dalam kasus dugaan korupsi. Misalnya, kasus suap pelaksanaan proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) tahun anggaran 2017-2018 dan kasus korupsi proyek pembangunan jalan milik KemenPUPR tahun 2016.

'Keteledoran' DPR berlanjut saat menyetujui kenaikan pagu anggaran bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun anggaran 2020, sebesar Rp10 triliun. Padahal, serapan anggaran KKP 2018 lalu hanya 79 persen dari total anggaran Rp 7,632 triliun.
 
Sikap DPR menyetujui begitu saja pagu anggaran sejumlah kementerian mencerminkan bahwa anggota dewan periode 2014-2019 tak pernah berpatokan pada hasil evaluasi kinerja kementerian/lembaga negara saat membahas kenaikan anggaran.

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai selama ini DPR hanya menggunakan cara-cara yang sifatnya inkremental dalam memberikan persetujuan anggaran bagi kementerian/lembaga.

Salah satu contoh, kata dia, DPR hanya melihat aspek naik-turunnya kondisi inflasi Indonesia saat merencanakan anggaran dengan kementerian/lembaga.

"Jadi tanpa mempertimbangkan evaluasi kinerja dari kementerian. Misalnya ada inflasi 5 persen, ya sudah jadi anggaran dinaikkan 5 persen. Hanya pertimbangan itu. Jadi semestinya itu harus ditinggalkan," kata dia.

Misbah menduga DPR tak memiliki indikator baku yang menjadi pedoman bagi para anggotanya dalam mengatur anggaran bersama pemerintah. Padahal, instrumen baku diperlukan sebagai pedoman agar DPR tak seenaknya menyetujui kenaikan atau menurunkan pagu anggaran kementerian/lembaga terkait.

"Saya yakin anggora dewan tak punya instrumen untuk mengawasi, dan jadi kelemahan juga bagi anggota dewan kemarin bahas APBN," kata dia.

Arya Fernandes merangkum kinerja DPR periode 2014-2019 dengan nilai enam. Titik terlemah di mata Arya adalah penyerapan aspirasi publik dan masyarakat sipil. Pengesahan RUU KPK menjadi UU jadi simbol kelemahan itu.

LIPSUS DPR I EMBARGOFoto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi
Arya mendiagnosis penyebab DPR begitu terisolasi dari aspirasi para pemilihnya. Setidaknya ada tiga faktor. Pertama melekat pada anggota DPR itu sendiri. Dia menyebut kemungkinan sebagian anggota DPR memang tak punya iktikad baik memperjuangkan aspirasi pemilihnya.

Penyebab lain adalah sistem pemilu yang belum mendukung DPR menjadi lembaga yang memperjuangkan aspirasi publik.

Sistem pemilu yang berlaku saat ini adalah sistem proporsional terbuka. Arya bilang sistem ini tak mendekatkan pemilih dengan wakil rakyat yang dipilih karena tidak ada reward dan punishment terhadap wakil rakyat setelah terpilih.

Selain itu, para pemilih terpisah dengan yang dipilihnya karena daerah pemilihan dalam sistem yang berlaku saat ini terlalu besar,.

"Dengan dapil yang besar dan alokasi kursi besar, orang jadi tak bisa mengenal caleg dan mengontrol mereka. Belum lagi tidak ada medium komunikasi masyarakat dengan DPR," ujar Arya.

Hal lain, menurut Arya, disebabkan ketiadaan mekanisme pengawasan dari partai. Seharusnya, kata Arya, partai memiliki sistem yang mengawasi dan menilai performa wakil rakyat mereka di parlemen. Kader di parlemen bisa mendapat sanksi jika kinerja terpantau buruk.

"Tanpa itu semua, akan percuma dana-dana yang dibagikan kepada anggota dewan," ujar Arya. (wis)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER