Jakarta, CNN Indonesia -- Cemas meruap di Gedung Merah Putih pada Jumat malam, 13 September 2019, menjelang pukul delapan. Pekik 'hidup
KPK' yang sesekali menggema dari para pegiat antikorupsi, tak mampu menghapus suasana muram di dalam gedung.
Wajah-wajah tegang di barisan pimpinan komisi antirasuah terekam jelas ketika Ketua KPK Agus Rahardjo membuka keterangan pers. Agus berdiri diapit Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Laode Muhammad Syarif.
Suara Agus datar. Tanpa kekuatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalimat pertama yang terlontar adalah keprihatinan terhadap kondisi pemberantasan korupsi.
"KPK rasanya seperti dikepung dari berbagai macam sisi," kata Agus.
Kalimat pembuka itu adalah respons KPK terhadap Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat yang beberapa jam sebelumnya menunjuk Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Komisi III juga memilih empat pimpinan KPK lain yaitu Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, serta Nurul Ghufron.
Pemilihan Firli memantik kecemasan lantaran yang bersangkutan diduga melakukan pelanggaran etik berat ketika menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018 lalu.
Suasana tegang di Gedung Merah Putih pada Jumat malam tak menjalar ke gedung DPR. Tiga hari kemudian, Senin (16/9), rapat paripurna mengesahkan Firli cs sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.
DPR kembali mengambil langkah kontroversial.
Sehari berselang para wakil rakyat mengesahkan Rancangan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi undang-undang. Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna kesembilan tahun sidang 2019-2020.
Pengesahan Firli dan Revisi UU KPK menjadi pukulan telak bagi KPK dan masyarakat sipil pegiat isu antirasuah. Ibarat pertarungan, pukulan telak itu diterima dalam kondisi kaki dan tangan terikat. Ya, baik KPK maupun masyarakat sipil mengklaim tak pernah dilibatkan dalam proses pemilihan Firli cs dan pengesahan RUU KPK.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membantah klaim tersebut. Dalam kasus RUU KPK, Fahri saat ditemui di ruang kerjanya, menekankan bahwa proses pembahasan RUU KPK telah berlangsung selama hampir 10 tahun, tepatnya sejak 2010 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
 Masyarakat sipil memprotes DPR yang mengesahkan Revisi UU KPK menjadi undang-undang. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Dia mengakui RUU KPK sempat ditunda pada era SBY, 2012 silam serta Jokowi pada 2015 lalu. Namun, Fahri menegaskan DPR tak pernah mengeluarkan RUU KPK dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas).
Pembahasan pun dilakukan secara terus menerus. Bahkan, Fahri berkata ada masa ketika DPR ditolak memasuki kampus saat hendak mensosialisasikan RUU KPK.
"Jadi selama 10 tahun pembahasan berlangsung terus. Kami sudah undang KPK, LSM, semua sudah kami undang," kata Fahri kepada
CNNIndonesia.com. Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebut DPR dan pemerintah seakan sengaja memilih mengesahkan RUU KPK di akhir masa jabatan.
Pertimbangan utama dari pilihan itu disebut Arya karena DPR dan pemerintah tak lagi dibebani risiko politik, terutama ketakutan tidak terpilih kembali pada masa jabatan berikutnya.
Arya mengatakan risiko tidak terpilih lagi bisa muncul jika RUU KPK disahkan di tengah masa jabatan atau menjelang Pemilu 2019.
"Sekarang, pemilu sudah selesai. Presiden sudah terpilih. Caleg-caleg sudah dilantik. Mau apa lagi?" kata dia.
Pengabaian aspirasi rakyat dan masyarakat sipil dalam kasus pemilihan Firli dan Revisi UU KPK adalah salah satu cermin wajah parlemen periode 2014-2019.
Pengawasan Tak BertajiDalam fungsi pengawasan, prestasi DPR juga tak menonjol. Publik mungkin masih mengingat ketika Bambang Soesatyo, senator asal Golkar berbicara dengan nada tinggi dan wajah sedikit gusar pada Senin siang, 24 November 2014 silam.
Saat itu Golkar masih tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang menjadi oposisi pemerintah. Dari mulut Bamsoet kala itu terlontar ancaman interpelasi atas kebijakan Presiden Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
"Hak interpelasi. Kita akan menggulirkan. Kita siapkan argumennya," tegas Bamsoet yang kala itu masih menjabat sebagai Sekretaris Fraksi Partai Golkar di DPR RI.
Bamsoet turut menjuluki pemerintahan Jokowi sebagai 'rezim pemalas' karena tak bisa mencari solusi selain menaikkan harga BBM untuk menambal beban fiskal di APBN.
"Kebijakan ini tak kreatif, atau bisa disebut malas. Masa APBN beban fiskal terganggu, lalu solusinya menaikkan BBM? Kalau begitu sih, enggak perlu presiden yang hebat," ujar Bamsoet.
Saat itu sudah ada 202 anggota dewan yang tergabung dalam KMP yang menyatakan siap mendukung interpelasi. Namun, seiring waktu penggunaan hak interpelasi DPR untuk Jokowi menguap begitu saja.
Laporan akhir tahun kinerja DPR tahun pertama periode sidang 2014-2015 mengkonfirmasi kegagalan interpelasi kenaikan BBM.
Laporan setebal 109 halaman itu menunjukkan tak ada satu pun catatan bahwa DPR pernah menggunakan hak interpelasi kenaikan BBM kepada presiden. Bambang Soesatyo yang awalnya keras mengkritik pemerintah Jokowi kini berbalik mendukung Jokowi.
 Ketua DPR Bambang Soesatyo. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain interpelasi, DPR dibekali dua instrumen lain dalam menjalankan fungsi pengawasan yakni hak angket dan hak menyatakan pendapat. Salah satu dari ketiga instrumen itu bisa digunakan jika sewaktu-waktu kinerja pemerintah dinilai tidak maksimal.
Berdasarkan laporan kinerja sejak tahun 2014 hingga 2019, DPR tercatat baru dua kali mengajukan hak angket kepada pemerintah.
Pertama adalah hak angket PT Pelindo II yang dilanjutkan dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) angket Pelindo II pada 13 Oktober 2015. Kedua pengajuan hak angket Tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan KPK pada tahun 2017.
Dua hak angket beserta Pansus yang diajukan DPR untuk mengawasi kedua kasus tersebut pun diragukan efektifitasnya. Sebab, tak semua hasil rekomendasi kerja Pansus hak angket DPR itu dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Rekomendasi Pansus Hak Angket Pelindo II menjadi contoh terhangat. Hak angket Pelindo II digunakan untuk mengawal kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Pelindo II oleh DPR.
Salah satu poin krusial yang dibacakan dalam rekomendasi akhir Pansus dalam Rapat Paripurna yang digelar pada Desember 2015 silam adalah mendesak Jokowi mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno. Rini, menurut Pansus Pelindo II, dianggap telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Rekomendasi itu bahkan sempat dilaporkan kembali oleh Pansus Pelindo II pada masa rapat paripurna 24 Mei 2019. Namun, rekomendasi yang seharusnya bersifat mengikat itu seperti menjadi sebatas imbauan. Rini Soemarno sampai detik ini masih menjabat sebagai Menteri BUMN.
Komisi-komisi di DPR, menurut data yang dihimpun Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) juga menindaklanjuti sejumlah temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2018.
Semisal, Komisi I tak merespons temuan BPK terhadap Bakamla yang mendapat opini tak menyatakan pendapat (TMP).
Selain itu, ada empat institusi negara lain yang mendapat predikat wajar dengan pengecualian (WDP) seperti KPU yang seharusnya ditangani komisi II, KPK yang ditangani Komisi III, Komisi V terhadap Kementerian PUPR, dan Komisi X terhadap Kemenpora.
 DPR pernah memerintahkan Presiden Jokowi memecat Menteri BUMN Rini Soemarno. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Formappi turut menyoroti beberapa tim pengawas maupun tim pemantau yang dibentuk oleh DPR periode 2014-2019 untuk mengawasi pemerintah terlihat tak jelas kegiatan dan hasilnya.
Beberapa tim pengawas antara lain Tim pengawas UP2DP, Tim Reformasi DPR, Tim Pengawas Wilayah Perbatasan, hingga Tim Pemantau UU Otsus. Tim yang terakhir menjadi paling disoroti karena disebut tak kunjung menyelesaikan pekerjaannya sejak dibentuk 2014 silam.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai DPR periode 2014-2019 tak memiliki taji pengawasan yang efektif karena masih terbelah antara partai pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto.
Dengan jumlah partai yang lebih banyak, koalisi Jokowi bisa dengan mudah mematahkan upaya untuk menyudutkan pemerintah.
Keduanya tak berarti terus menerus berhadap-hadapan. Dalam beberapa kasus, kedua kubu bisa bersatu diikat kepentingan yang sama.
Arya Fernandes menyebut Revisi UU KPK dan pemilihan Firli Bahuri adalah contoh bagaimana kesamaan kepentingan antara pemerintah dan seluruh anggota dewan membuat Firli dan Revisi UU KPK mulus melenggang.
"Bagaimana ada pengawasan jika kepentingan pemerintah dan DPR sama dalam kasus KPK," ujar Arya.
Legislasi Tak ProduktifTak hanya lemah dari sisi pengawasan, DPR periode 2014-2019 pun tak kunjung produktif dalam menyusun peraturan perundang-undangan atau menjalankan fungsi legislasi.
Berdasarkan laporan tahunannya, DPR telah menetapkan sebanyak 222 Rancangan Undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2015-2019. Daftar tersebut terdiri atas 189 RUU -55 diantaranya adalah RUU prioritas- dan 33 RUU lain yang bersifat Kumulatif.
Riset yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut RUU yang berhasil disahkan DPD hingga April 2019 hanya sebanyak 26 UU atau sebesar 10 persen dari total target Prolegnas. Jumlah itu sudah termasuk penetapan Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) menjadi UU.
Data terbaru dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) per 26 September, hanya 35 RUU yang berhasil disahkan dewan selama menjabat.
Data ICW dan Formappi menunjukkan DPR hanya bisa menyelesaikan lima sampai tujuh pembahasan UU atau revisi UU setiap tahunnya. Jumlah itu tentunya di luar RUU Kumulatif yang sudah disahkan.
Jumlah minim dan kualitasnya diragukan. Bahkan, tak sedikit produk legislasi DPR yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Salah satu yang paling menonjol adalah revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi UU MD3, Februari 2018.
Substansinya banyak digugat oleh elemen masyarakat sipil. Dan hanya butuh tiga bulan saja bagi sejumlah elemen masyarakat sipil untuk menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, MK mengabulkan permohonan uji materi terkait pasal pemanggilan paksa bagi yang menghina atau merendahkan kehormatan DPR.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdhanil menambahkan catatan penting. Menurutnya, produk legislasi DPR belum sepenuhnya menjawab kebutuhan pokok masyarakat. Dengan kata lain dia menyebut DPR dan pemerintah tak cermat dan peka dalam memprioritaskan RUU yang harus disahkan.
Fadli menyebut terdapat sejumlah RUU yang penting untuk dibahas namun belum juga disahkan oleh DPR dan pemerintah. Di antaranya adalah Revisi UU Partai Politik, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal hingga RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.
"Soal RUU Parpol sudah masuk Prolegnas tak dibahas juga. Perlu sekali perbaikan UU Pilkada untuk mengharmonisasi. Pengaturannya sangat mendesak karena tahapan Pilkada akan dimulai," kata dia.
"DPR malah semangat merevisi UU lain, yang kepentingannya jauh lebih banyak kepada hal yang pragmatis saja," ujarnya lagi, merujuk revisi UU KPK dan MD3 yang baru disahkan pekan lalu.
Fadli tak menampik DPR bukan merupakan satu-satunya aktor dalam pembahasan dan penyusunan legislasi. Ada peran pemerintah di dalamnya untuk secara bersama-sama menyusun.
"Tapi DPR seharusnya dapat memaksimalkan perannya sebab DPR merupakan pemegang kekuasaan pembentukan Undang-Undang," kata dia.
Soal Anggaran, DPR Kurang Hati-hatiSementara itu dalam aspek anggaran, DPR terkesan kurang hati-hati dan hilang daya kritisnya saat membahas pagu indikatif anggaran bagi kementerian atau lembaga bersama-sama dengan pemerintah.
Hal itu terlihat dari temuan hasil pembahasan rencana pagu indikatif anggaran untuk institusi negara untuk tahun 2020 mendatang.
Formappi mencontohkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga.
DPR sudah menyetujui penambahan pagu anggaran bagi Kementerian PUPR sebesar Rp16 triliun dari pagu yang sudah ditetapkan sebesar Rp103.8 triliun di APBN untuk tahun depan.
Sementara untuk Kemenpora, DPR telah menyepakati kenaikan pagu anggaran sebesar Rp555 miliyar dari pagu yang sudah ditetapkan sebesar Rp1.4 triliun untuk tahun depan.
Formappi menyatakan seharusnya dua kementerian itu tak layak memperoleh persetujuan kenaikan pagu anggaran dari DPR untuk tahun anggaran 2020 mendatang. Sebab, dua kementerian tersebut masih memperoleh opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Ketentuan itu diatur dalam regulasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235 tahun 2015 tentang Tata Cara Pemberian Penghargaan dan Pengenaan Sanksi Atas Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga. Permen menyebut kementerian/lembaga berhak untuk mengajukan penambahan anggaran bila mendapat opini WTP dari BPK.
 Menteri KKP Susi Pudjiastuti saat rapat dengan DPR. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Untuk KemenPUPR, masalahnya tak sekadar mendapat laporan WDP dari BPK. Bila menilik ke belakang, serapan anggaran KemenPUPR pun tergolong rendah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 285 tahun 2015 menyebut salah satu syarat untuk memperoleh kenaikan anggaran jika serap anggarannya minimal 95%.
Di sisi lain, data Kementerian PUPR per 4 November 2018 tertera bahwa kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono baru menyerap Rp 72,56 triliun dari total pagu anggaran tahun 2018 sebesar Rp106,9 triliun.
Persoalan lain dalam tubuh KemenPUPR adalah kerap berurusan dengan KPK dalam kasus dugaan korupsi. Misalnya, kasus suap pelaksanaan proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) tahun anggaran 2017-2018 dan kasus korupsi proyek pembangunan jalan milik KemenPUPR tahun 2016.
'Keteledoran' DPR berlanjut saat menyetujui kenaikan pagu anggaran bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun anggaran 2020, sebesar Rp10 triliun. Padahal, serapan anggaran KKP 2018 lalu hanya 79 persen dari total anggaran Rp 7,632 triliun.
Sikap DPR menyetujui begitu saja pagu anggaran sejumlah kementerian mencerminkan bahwa anggota dewan periode 2014-2019 tak pernah berpatokan pada hasil evaluasi kinerja kementerian/lembaga negara saat membahas kenaikan anggaran.
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menilai selama ini DPR hanya menggunakan cara-cara yang sifatnya inkremental dalam memberikan persetujuan anggaran bagi kementerian/lembaga.
Salah satu contoh, kata dia, DPR hanya melihat aspek naik-turunnya kondisi inflasi Indonesia saat merencanakan anggaran dengan kementerian/lembaga.
"Jadi tanpa mempertimbangkan evaluasi kinerja dari kementerian. Misalnya ada inflasi 5 persen, ya sudah jadi anggaran dinaikkan 5 persen. Hanya pertimbangan itu. Jadi semestinya itu harus ditinggalkan," kata dia.
Misbah menduga DPR tak memiliki indikator baku yang menjadi pedoman bagi para anggotanya dalam mengatur anggaran bersama pemerintah. Padahal, instrumen baku diperlukan sebagai pedoman agar DPR tak seenaknya menyetujui kenaikan atau menurunkan pagu anggaran kementerian/lembaga terkait.
"Saya yakin anggora dewan tak punya instrumen untuk mengawasi, dan jadi kelemahan juga bagi anggota dewan kemarin bahas APBN," kata dia.
Arya Fernandes merangkum kinerja DPR periode 2014-2019 dengan nilai enam. Titik terlemah di mata Arya adalah penyerapan aspirasi publik dan masyarakat sipil. Pengesahan RUU KPK menjadi UU jadi simbol kelemahan itu.
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi |
Arya mendiagnosis penyebab DPR begitu terisolasi dari aspirasi para pemilihnya. Setidaknya ada tiga faktor. Pertama melekat pada anggota DPR itu sendiri. Dia menyebut kemungkinan sebagian anggota DPR memang tak punya iktikad baik memperjuangkan aspirasi pemilihnya.
Penyebab lain adalah sistem pemilu yang belum mendukung DPR menjadi lembaga yang memperjuangkan aspirasi publik.
Sistem pemilu yang berlaku saat ini adalah sistem proporsional terbuka. Arya bilang sistem ini tak mendekatkan pemilih dengan wakil rakyat yang dipilih karena tidak ada reward dan punishment terhadap wakil rakyat setelah terpilih.
Selain itu, para pemilih terpisah dengan yang dipilihnya karena daerah pemilihan dalam sistem yang berlaku saat ini terlalu besar,.
"Dengan dapil yang besar dan alokasi kursi besar, orang jadi tak bisa mengenal caleg dan mengontrol mereka. Belum lagi tidak ada medium komunikasi masyarakat dengan DPR," ujar Arya.
Hal lain, menurut Arya, disebabkan ketiadaan mekanisme pengawasan dari partai. Seharusnya, kata Arya, partai memiliki sistem yang mengawasi dan menilai performa wakil rakyat mereka di parlemen. Kader di parlemen bisa mendapat sanksi jika kinerja terpantau buruk.
"Tanpa itu semua, akan percuma dana-dana yang dibagikan kepada anggota dewan," ujar Arya.