Bandung, CNN Indonesia -- Dua isu bertolak belakang diangkat para perempuan yang melakukan demonstrasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan DPRD masing-masing di Bandung dan Palembang.
Di Bandung, ratusan peserta aksi yang mengatasnamakan dirinya Gerakan Umat Lintas Iman Se-Jawa Barat (Geulis) menggelar aksi unjuk rasa damai di depan gedung DPRD Jawa Barat, Rabu (25/9). Mereka ingin mendorong agar DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Koordinator aksi Vini Zulfa mengatakan mereka menuntut pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU PKS tanpa perlu menunggu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang dan Hukum Pidana (RKUHP) karena dianggap harus segera menghentikan kasus kekerasan seksual di Indonesia yang terus meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami meminta DPRD Jabar ikut mendukung pengesahan RUU PKS," kata Vini di depan Gedung DPRD Jabar, Jalan Diponegoro, Bandung.
Dia menjelaskan pimpinan panja RUU PKS di DPR harus menunjukkan sikap tegas dan komitmennya untuk segera menjadwalkan pembahasan tanpa perlu menunggu RKUHP.
"Kami juga meminta panja membahas dan mengesahkan RUU PKS dengan mempertahankan enam elemen kunci RUU PKS yaitu sembilan tindak pidana kekerasan seksual, pencegahan, pemulihan, hukum acara, ketentuan pidana dan pemantauan," ucapnya.
Dalam aksi tersebut, pengunjuk rasa menampilkan poster yang berisi tentang desakan agar pemerintah segera mengesahkan RUU PKS. Aksi ini berjalan dengan tertib dan dikawal aparat kepolisian.
Vini menjelaskan RUU PKS menjadi kontra di kalangan masyarakat karena ada sekelompok orang yang menganggap beberapa pasal dalam RUU itu bermasalah. Padahal, menurutnya, poin-poin dalam RUU PKS justru memberikan gagasan agar tindakan kekerasan seksual tidak lagi terjadi dan bisa dihapuskan.
"Setelah kami telaah dan pahami lebih lanjut, sebenarnya tidak ada poin yang berpotensi terhadap zina atau LGBT. Cuma tafsiran beberapa kalangan terhadap satu narasi di poin RUU itu. Padahal poin yang mengindikasikan ke LGBT atau perzinaan itu tidak ada," ujarnya.
Vini menegaskan Geulis terus aktif menyuarakan agar pengesahan RUU PKS itu segera dilakukan. Selain itu, Geulis juga terus mensosialisasikan RUU ini agar masyarakat melek dengan persoalan kekerasan seksual.
Berdasarkan Data Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik, 2018, sejak 2014-2017 kasus kekerasan seksual mencapai 21.310 kasus dengan rata-rata per tahun sebesar 5.327 kasus.
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama BPS tahun 2016, menemukan sebanyak 33,4% perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengalami kekerasan, dengan kekerasan seksual menempati posisi tertinggi yaitu sebesar 24,2%.
Emak Militan Serbu DPRD Sumsel Tolak RUU PKSSementara itu, seratusan wanita yang tergabung dalam Emak-emak Militan mendatangi Gedung DPRD Sumatera Selatan di Jalan Pom IX Palembang. Berbeda dengan aksi di Bandung, Emak-emak Militan itu menolak RUU PKS, Rabu (25/9).
Berdasarkan pantauan
CNNIndonesia.com, massa mulai berkumpul di depan gedung para wakil rakyat tersebut pada pukul 10.00 WIB. Mereka membentangkan spanduk yang bertuliskan penolakan terhadap RUU PKS dan melakukan orasi
Koordinator Lapangan Emak-Emak Militan Dina Tanjung mengatakan apabila RUU PKS disahkan, maka perzinahan dan tindakan penyimpangan seksual LGBT dapat dilegalkan di Indonesia.
"Tentunya RUU PKS ini bertentangan dengan syariat Islam, memangkas hak seorang suami terhadap istri. Anak bisa pidanakan orang tua kalau orang tuanya menyuruh pakai jilbab tapi anaknya enggak mau," ujar dia.
Selain itu, Dina menyatakan ada pasal mengenai pemerkosaan di dalam pernikahan yang mereka nilai aneh dan tidak bisa diterapkan di lingkungan masyarakat dengan mayoritas pemeluk agama Islam.
"Kan lucu, seorang istri bisa pidanakan suami kalau diajak berhubungan tapi lagi enggak mau. Kan itu gila," tambah dia.
Dina mengatakan, komunitas Emak-Emak Militan akan terus mengawal RUU PKS jangan sampai disahkan DPR. Pihaknya pun menuntut anggota DPRD Sumsel menyampaikan penolakan mereka tersebut ke pemerintah pusat dan DPR RI.
Setelah beberapa menit berorasi, perwakilan massa dipersilakan masuk ke Gedung DPRD Sumsel untuk bertemu Pimpinan Sementara Anggota DPRD Sumsel Anita Noeringhati. Anita mengatakan, pihaknya menerima aspirasi kaum ibu tersebut dan akan menyampaikannya langsung untuk dibahas di DPR RI.
"Saya juga perempuan, tentu akan mengawal apa yang jadi tuntutan ibu ibu sekalian," kata dia.
Seratusan wanita yang tergabung dalam Emak-Emak Militan mendatangi Gedung DPRD Sumatera Selatan, Palembang menolak RUU PKS, Palembang, Rabu (25/9). (CNNIndonesia/hafizd) |
Berdasarkan catatan
CNNIndonesia.com, terhitung sejak 19 Mei 2016, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menerima naskah akademik serta draft RUU PKS yang telah diusulkan serta ditandatangani 70 anggota DPR RI. RUU PKS ini semakin gencar didorong pengesahannya setelah tragedi pemerkosaan oleh 14 pemuda terhadap Y (14). Walhasil, pada 6 Juni 2016, Baleg pun memasukkan RUU PKS ke dalam Prolegnas Prioritas.
Selain masuknya RUU PKS dalam prolegnas. Perombakan regulasi tentang kekerasan seksual juga membuat Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada 25 Mei 2016.
Perppu tersebut disahkan guna upaya pemerintah dalam mengatasi kegentingan kejahatan seksual yang dialami oleh Indonesia. Bersamaan dengan itu, diharapkan kedua regulasi tersebut dapat lebih memberi efek jera terhadap pelaku serta mengurangi angka kasus kejahatan seksual di Indonesia.
pembahasan RUU kembali bergulir dalam sidang yang dilakukan pada 31 Januari 2017, dari pembahasan saat itu Baleg dari beberapa anggota lintas komisi mengesahkan RUU PKS dan berencana untuk membawa RUU tersebut ke rapat paripurna. Kemudian 6 April 2017, DPR RI mengesahkan RUU PKS sebagai RUU Inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-92 dan pimpinan DPR mengirimkan surat draft RUU tersebut kepada pemerintah.
Lalu, 11 September 2017, Komisi VIII DPR RI membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU PKS dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 23 Januari 2018, Komisi VIII DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Panitia Kerja RUU PKS, Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan untuk membahas RUU tentang penghapusan kekerasan seksual.
Memasuki 2019, Dalam rapat paripurna ke-23 DPR RI yang dilakukan pada 25 Juli 2019. Dalam rapat tersebut, DPR sepakat untuk memperpanjang pembahasan RUU PKS.
Kemudian pada 24 September 2019, Dalam rapat paripurna dengan agenda pengesahan 6 RUU, yang salah satunya adalah mengesahkan RUU PKS. Agenda pengesahan itu kembali ditunda karena gejolak aksi demonstrasi menolak pengesahan RUU KUHP yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
(hyg, idz, ayd/kid)