Jakarta, CNN Indonesia -- Sebanyak tujuh anak korban
teror bom di Sidoarjo dan Surabaya pada 2018 belum jelas nasibnya. Hingga kini mereka masih dirawat di salah satu rumah perlindungan pemerintah di Jakarta.
Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani, Neneng Heryani mengatakan perlu kehati-hatian untuk menentukan tempat tinggal anak-anak tersebut setelah menjalani pembinaan. Perlu kecermatan untuk memastikan anak terputus dari rantai jaringan teroris.
"Ini karena kehati-hatian, kan anak ini orang tuanya yang pelaku, ya. Jadi ya masyarakat harus paham dan yakin dulu bahwa tidak akan terjadi sesuatu. Padahal menurut kami, anak-anak ini kan namanya anak, juga korban, kan. Dia juga tidak mau seperti itu. Bukan keinginan mereka seperti itu," kata Neneng saat ditemui di kantornya di kawasan Jakarta Timur, Rabu (16/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sih inginnya dengan segera. Karena kami melihat perkembangan anak itu jauh lebih baik dan sudah layak direintegrasi," ujarnya.
Terhitung sudah 1 tahun 6 bulan anak-anak korban tinggal di bawah perlindungan Kementerian Sosial. Ada yang orang tuanya tewas dalam aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, ada pula yang meninggal saat merakit bom di Rusunawa Sidoarjo.
Sesuai aturan, anak-anak korban radikalisme akan dirawat Kementerian Sosial selama enam bulan. Namun, bila diperlukan jangka waktu ini bisa diperpanjang.
Beberapa anak masih memiliki keluarga besar, namun Kemensos tengah mempertimbangkan pilihan terbaik apakah dikembalikan ke pihak keluarga atau dipindahkan ke lembaga pendidikan khusus. Neneng pun menargetkan keputusan akan diambil paling lambat pada pengujung 2019.
"Ya, mungkin akhir tahun ini, mudah-mudahan segera mendapatkan tempat yang layak bagi anak. Anak-anak ini perubahannya sekarang sudah jauh sekali, sangat baik. Sekarang sudah mau bersosialisasi, sudah mau bermain dengan anak lain," ujar Neneng.
Ia menambahkan proses reintegrasi sosial atau pemindahan anak dari rumah perlindungan harus dikoordinasikan dengan sejumlah pihak di antaranya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88 juga pemerintah daerah terkait.
Pada Mei 2018 silam terjadi tiga rangkaian teror bom beruntun di Surabaya dan Sidoarjo. Tiga lokasi di antaranya tempat ibadah di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS). Sementara dua titik lainnya yakni kompleks Rumah Susun Wonocolo dan Mapolrestabes Surabaya. Masing-masing serangan dilakukan oleh satu keluarga.
[Gambas:Video CNN] (ika/pmg)