Jakarta, CNN Indonesia -- Sosiolog dari Universitas Indonesia, Thamrin Tomagola, menjelaskan
deradikalisasi penting dilakukan sejak
usia dini. Sebab, ia menilai
radikalisme bisa tertanam dalam pikiran sejak kecil.
Pernyataan itu Thamrin sampaikan merespons wacana kebijakan Kementerian Agama yang melarang pemakaian cadar dan celana cingkrang. Menurutnya, kebijakan itu sangat tidak diperlukan.
"Pakaian itu kan simbol-simbol saja, enggak perlulah diatur. Masa orang berpakaian harus diatur seperti apa," kata Thamrin saat diskusi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (10/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Thamrin melanjutkan, "Yang paling mendasar bagaimana menghadapi penyebaran radikalisme lewat PAUD (pendidikan anak usia dini), SD dan SMP sebenarnya lebih substantif. Itu yang harus dihadapi secara terarah."
Dalam kesempatan yang sama pegiat perlindungan anak, Roostien Ilyas, memberikan penjelasan serupa. Ia mengklaim sudah berkeliling Indonesia sejak dekade 90-an dan menemukan bibit radikalisme pada pelajar.
Menurutnya radikalisme tidak muncul dalam diri seseorang secara tiba-tiba, melainkan secara bertahap. Tahap pertama adalah intoleransi, tahap kedua radikalisme dan tahap ketiga adalah terorisme.
"Anak sekolah sekarang banyak sekali yang intoleran, baru ketemu saja sudah bertanya 'agama kamu apa?". Ada juga yang bernyanyi 'aku anak soleh bukan anak kafir', ini harus diberhentikan," kata Ilyas.
Menurut Ilyas, intoleransi kian parah dalam diri pelajar dari tahun 90-an hingga sekarang. Berdasarkan data Survei Kajian Islam dan Kedamaian yang ia kutip, sebanyak 52 persen di Indonesia memilih cara radikalisme untuk membela agama.
Kemudian berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga dikutip Ilyas, 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Data tersebut juga menunjukkan bahwa 52,3 persen pelajar setuju kekerasan untuk solidaritas agama dan 14,2 persen setuju bom.
Menurut Ilyas, solusi untuk menangani intoleransi pelajar adalah pembinaan dari guru dan orang tua. Terutama dari guru-guru di sekolah karena kalau orang tua bersifat pribadi.
"Yang harus negara lakukan adalah seleksi guru dengan tepat, kalau guru kan negara yang tentukan, orang tua pribadi. Kalau guru mengajarkan toleransi akan terbawa ke rumah," kata Ilyas.
Thamrin sependapat dengan pernyataan Ilyas. Ia juga menambahkan unsur yang tidak kalah penting dari peran guru dan orang tua adalah lingkungan pertemanan. Pasalnya, pelajar terkadang lebih mendengarkan perkataan teman ketimbang guru dan orang tua.
[Gambas:Video CNN] (adp/sfr)