Jakarta, CNN Indonesia -- Survei Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (
Komnas HAM) menyatakan 99,3 persen masyarakat ingin kasus
pelanggaran HAM diselesaikan melalui jalur pengadilan. Survei dilakukan September-Oktober lalu.
Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengatakan sebanyak 62,1 persen menghendaki penyelesaian melalui pengadilan nasional, sementara 37,2 persen ingin penuntasan lewat pengadilan internasional.
Sementara sisanya memilih penyelesaian dengan mekanisme lain. Salah satunya, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Komnas HAM berharap diselesaikan di sini, tapi kalau ini enggak kelar-kelar dan internasional mau mengambil ini, kami nggak bisa cegah. Kami menghormati. Karena itu doanya para korban," kata Chairul Anam saat memaparkan hasil survei di kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (4/12).
Anam mengingatkan, mekanisme pengadilan internasional di Den Haag, Belanda cenderung berbiaya mahal. Pula, lebih rumit jika perlu gelar perkara.
Oleh karena itu ia pun mendorong mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dilakukan di pengadilan nasional.
"Kesaksiannya lebih mudah, pembuktiannya lebih mudah. Kalau suatu saat ada pengadilan HAM lalu hakim merasa kok buktinya kurang, ini ada kuburan massal, ya dia bisa gelar perkara perintahkan untuk dibongkar. Itu kalau pengadilannya di Jakarta, tapi kalau di Den Haag sana misalnya, ya repot. Secara teknis susah," tuturnya.
Anam mengungkapkan bahwa biaya penyelenggaraan sidang umum di pengadilan internasional jauh lebih besar dibanding dana untuk hak pemulihan untuk korban. Hal tersebut terjadi saat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Yugoslavia dan Rwanda.
Penelitian dilakukan antara Komnas HAM dengan Litbang Kompas menggunakan analisis secara deskriptif. Pengambilan data dilakukan pada September hingga Oktober 2019 dengan metode kuantitatif survei (
face to face interview) dengan durasi maksimal wawancara selama satu jam.
Terdapat 1.200 responden dari 34 provinsi di Indonesia. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Multistage Random Sampling dengan sampling error kurang lebih 2,8 persen.
Lebih lanjut, Komnas HAM berharap hasil survei tersebut dijadikan salah satu pertimbangan pemerintah dalam menentukan langkah penyelesaian.
"Angka ini angka penting, jadi mohon Pak Mahfud yang di publik seringkali ngomong KKR-KKR, lihatlah survei ini. Jadi orang masih mendambakan soal pengadilan," imbuhnya.
 Masih banyak kalangan yang menuntut pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Pemerintah Masih Bahas KKRMenkopolhukam Mahfud MD menggelar Forum Group Discussion membahas proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Sejumlah pihak dari unsur pemerintah dan sipil hadir dalam kesempatan tersebut.
Direktur Jenderal HAM Kemenkumham Mualimin Abdi menuturkan rencana menghidupkan kembali UU KKR merupakan tindak lanjut atas komitmen Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
UU KKR, lanjutnya, diperlukan untuk memetakan kasus pelanggaran HAM. Dia berkata pelanggaran HAM ada yang bisa diproses, sudah berjalan, dan tidak bisa diproses.
"Maka Pak Menko mencari jalan, kalau yang bisa diproses ya dijalankan di yudisial. Kalau yang tidak bisa diproses ya harus cari jalan kan," ujar Mualimin usai FGD di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (4/12).
Mualimin menuturkan pelanggaran HAM yang tidak bisa selesai lewat jalur yudisial tidak harus juga dituntaskan. Pemerintah akan mencari jalan untuk memberi kepastian atas semua kasus yang tidak bisa selesai melalui jalur yudisial tersebut.
"Oleh karena itu tadi antara lain yang dibahas adalah bagaimana membahas kembali UU KKR," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]Mualimin berkata UU KKR sebenarnya sudah sempat dibahas kembali oleh pemerintah pada tahun 2013 setelah dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2006. Namun, dia berkata pembahasan pada tahun 2013 kembali berhenti karena berbagai hal.
"Pak Menko berkeinginan apakah kita bisa bahas kembali agar yang tidak bisa diproses melalui mekanisme yudisial bisa dialihkan ke mekanisme KKR," ujar Mualimin.
Lebih lanjut, Mualimin mengaku pemerintah belum melakukan pemetaan atas kasus pelanggaran HAM yang tidak bisa dilanjutkan ke mekanisme yudisial. Sejauh ini, pemerintah masih melakukan pendalaman kembali. Sebab, UU KKR masih bakal dibahas di DPR apakah masuk prolegnas atau tidak.
"Kalau ini nanti masuk prolegnas yang disepakati maka itu lah yang akan kita bahas. Setelah UU KKR dibahas, kalau itu jadi maka pemerintah yang diwakili Menkopolhukam dan di situ ada Jaksa Agung akan melakukan verifikasi mana saja yang tidak bisa dibawa ke yudisial," ujarnya.
(jps/ika/bmw)