Jakarta, CNN Indonesia --
Polda Metro Jaya melalui Tim Biro Hukum menyerahkan sejumlah bukti serta menghadirkan satu saksi ahli dalam sidang gugatan praperadilan kasus penangkapan
Surya Anta dan lima aktivis
Papua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (5/12). Sidang mengagendakan pembuktian dari Polda Metro Jaya selaku termohon.
"Bukti mulai dari penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan. Semuanya lengkap dengan administrasi penyelidikan dan penyidikan. Surat perintah, berita acara, semuanya lengkap," kata Tim Biro Hukum Polda Metro Jaya AKBP Nova Irone Surentu kepada wartawan saat sidang skor.
Ia menerangkan ada 150 bukti yang dibawa hari ini. Nova meyakini hakim akan menerima bukti-bukti yang diajukan. Dia mengklaim polisi telah bekerja sesuai prosedur selama proses hukum terhadap Surya Anta cs.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praperadilan ini diajukan oleh enam aktivis Papua karena merasa penangkapan dan penetapan tersangka terhadap mereka dilakukan tidak sesuai prosedur. Tim Advokasi Papua menilai bahwa selama penangkapan, polisi tidak menyerahkan surat perintah tersebut kepada kolega tersangka.
Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Dian Andriawan sebagai ahli dari Polda Metro Jaya menyatakan bahwa penangkapan dengan ihwal dugaan tindak pidana makar tidak perlu surat perintah penangkapan karena dianggap mengancam keamanan negara.
"Bisa dibandingkan, misalnya kejahatan terkait kekayaan. Kalau tidak melalui surat perintah, (penangkapan) itu tidak sah. Tapi kejahatan terkait keamanan negara, tentunya bila diproses surat perintah, bisa saja si pelaku itu kabur," kata Dian.
Ia menambahkan surat tugas kepolisian dapat diberikan menyusul setelah pelaku ditangkap.
"Tentu dalam penangkapan itu ada situasi penyidik dapat menyiapkan surat tugas. Ada juga yang tidak sempat mempersiapkan surat tugas atau penangkapan, dalam hal ini dapat disusulkan," terang Dian.
Berkaitan dengan surat perintah penggeledahan yang diduga tidak ditunjukkan dan diberikan saat penangkapan, Dian menegaskan penggeledahan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan atau izin penggeledahan.
"Setelah dilakukan penggeledahan, baru diberitahukan ke pengadilan," ujar dia.
Ahli dari Polda Metro Jaya juga berpendapat bahwa
gugatan terhadap institusi, dalam hal ini kepolisian, seharusnya dilayangkan ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN).
"Menurut saya, lembaga tidak bisa dijadikan objek. Karena itu adalah institusi," kata Dian.
Hal itu diucapkan Dian menanggapi pertanyaan Tim Biro Hukum Polda Metro Jaya, AKBP Nova Irone Surente. Nova bertanya mengenai subjek dan objek dalam sidang gugatan praperadilan.
Ia mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 yang menjelaskan mengenai badan peradilan yang berhak untuk mengadili gugatan terkait dengan keputusan negara, termasuk institusi di dalamnya adalah PTUN.
"Sedangkan subjek maupun sasaran daripada praperadilan itu adalah sifatnya individual. Kenapa, karena didasarkan pada surat perintah. Misalnya sebagai penyidik ya surat perintah penyidikan," jelas Dian.
Pendapat Dian mendapat perhatian dari Tim Advokasi Papua dalam sidang. Salah satu pengacara Tim Advokasi Papua, Muhammad B Fuad bertanya kepada ahli mengenai dasar hukum pendapatnya.
Ia pun sempat menyinggung mengenai latar belakang Dian sebagai ahli hukum pidana baik secara formil maupun materil, sehingga tidak memahami mengenai PTUN sepenuhnya.
"Pernah baca UU PTUN?" tanya Fuad.
"Saya pernah membaca karena saya (punya gelar) sarjana hukum. Hanya saya tidak punya kompetensi mengenai bidang PTUN," jawab Dian.
Fuad juga menanyakan mengenai pengecualian tertentu yang tidak dapat digugat melalui PTUN. Namun, Dian tidak dapat menjawab dengan lugas.
Praperadilan ini adalah imbas dari penangkapan terhadap sejumlah aktivis Papua. Mereka ditangkap setelah menggelar demo di depan Istana Kepresidenan sambil mengibarkan bendera bintang kejora, 28 Agustus lalu.
Dalam sidang praperadilan ini para pemohon adalah enam aktivis yang ditangkap yakni Paulus Suryanta Ginting alias Surya Anta, Isay Wenda, Charles Kosay, Ambrosius Mulait, Anes Danoo Tabuni, dan Arina Elopere.
Sementara termohon meliputi Presiden RI, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Divisi Keamanan Negara Polda Metro Jaya.
(mjo/wis)