Sakit Saraf yang Menahun Hingga Penyintas Korban Aksi Teror
Ryan Hadi Suhendra, Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Jumat, 27 Des 2019 09:04 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Garis polisi melintang di lokasi serangan bom mobil di Hotel JW Marriot, Jakarta, 12 Agustus 2003. (AFP PHOTO/Bay ISMOYO)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sucipto Hari Wibowo, mengalami penderitaan saraf pada pendengaran akibatterorbom di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia, Jakarta pada 9 September 2004.
Luka tersebut masih berdampak pada dirinya hingga kini.
"[Bom] Kuningan itu 300 kilogram, kebanyakan [penderitaan korban selamat] saraf semua. Saya juga saraf," ujar pria yang karib disapa Cipto itu saat ditemui CNNIndonesia.com, Selasa (26//12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cipto bukanlah pekerja di Kedubes Australia. Kala itu, ia menjadi korban ketika sedang melintas di jalan HR Rasuna Said, Kuningan, depan gedung diplomatik tersebut.
"Saya enggak bisa lihat apa-apa... Saya agak samar-samar. Duduk di trotoar. Telinga sakit, kepala pusing. Saya duduk saja, saya lihat korban lain di Kopaja, saya enggak bisa apa-apa. Orang berteriak ada bom-bom," katanya menceritakan kembali cerita saat itu.
Setelah merasa agak kuat, Cipto pun melanjutkan perjalanannya untuk menunaikan pekerjaan sambil menahan sakit. Sore harinya, ia diantar keluarganya ke dokter. Di sanalah ia didiagnosa gendang telinganya mengalami pembengkakan dan jaringan saraf rusak akibat ledakan bom Kuningan.
Cipto sendiri saat ini tercatat sebagai Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI). Untuk diketahui YPI merupakan wadah berkumpulnya para korban dan keluarga korban aksi terorisme di Indonesia. Jaringannya termasuk pula dari komunitas maupun yayasan korban lain seperti Forum Kuningan (Korban Bom di Kedubes Australia 2004), ISANA Dewata (Korban Bom Bali), hingga Sahabat Thamrin.
Lewat wadah tersebut, mereka ingin sebagai sesama korban maupun keluarga korban untuk saling menguatkan dan membantu agar luka yang diderita akibat terorisme-terutama psikis.
"Percuma kalau hak-hak (korban) sudah dipenuhi, tapi jiwanya rusak. Kasihan mereka," kata Cipto.
Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Sucipto Hari Wibowo. (CNN Indonesia/Ryan Hadi Suhendra)
Dwi Siti Rhomdoni, korban Bom Thamrin pada 2016 silam, menjadi salah satu yang dikuatkan semangatnya oleh YPI. Perempuan yang karib disapa Dwiki itu mengalami patah tulang leher karena serangan teror di kawasan Jalan MH THamrin, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016.
Selama masa penyembuhan, yang membuatnya harus memakai penyanggah leher, Dwiki mengaku mengalami kekalutan luar biasa. Segala jenis ketakutan tumplek di alam pikirannya.
"Saya pikirannya, wah, kalau saya cacat gimana, ya. Langsung mikir keluarga tuh. Sudah mulai benci ke pelaku, sudah mulai marah, satu minggu sudah enggak stabil. Makanya didatengin terus setiap 2 jam sekali, awalnya psikolog terus psikiater," kata dia.
Selama tiga pekan ia harus menjalani perawatan di sana. Tidak dioperasi, hanya minum obat pereda sakit, obat penenang dan konseling dengan psikolog. Ketakutannya menjadi disabilitas, masih mengganggu pikirannya.
Untuk beberapa hari, Dwiki berujar seperti kehilangan arah. Namun beruntung, lewat kehadiran sejumlah anggota YPI dan Aliansi Indonesia Damai (Aida) berhasil membuatnya bangkit dari situasi terpuruk. Motivasi dan dukungan yang senantiasa diberikan membawa semangat untuk sembuh, perlahan tumbuh. Aida merupakan organisasi yang sejak didirikan memiliki tujuan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai melalui peran korban dan mantan pelaku terorisme.
Pertemuan dengan para korban dan keluarga korban terorisme lain, diakui Dwiki, menggugah nuraninya sehingga ia pun mulai memupuk keberanian dirinya untuk bangkit demi menghidupi keluarga.
"Saya melihatnya, mereka lebih parah dari saya, saya enggak ada cacat satu pun, masa iya saya enggak bisa (bangkit)," lanjut Dwiki yang belakangan ikut terlibat di YPI sebagai salah satu pengurus.
Dwiki sendiri masih harus rajin mengonsumsi obat untuk meringankan penderitaan saraf yang masih dideritanya saat ini, seperti Cipto.
Aksi simpatik Sahabat Thamrin di Kawasan ledakan bom Thamrin pada 2016, Jakarta Pusat, 13 Januari 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Tulang Punggung
Bukan hanya Dwiki yang menjadi tulang punggung keluarga dan harus mengalami penderitaan berlapis akibat jadi korban teror. Jihan Thalib yang menjadi korban bom Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada 25 Mei 2017 pun mengalami hal sama.
Jihan harus menepi setidaknya setengah tahun dari pendidikan tinggi serta pekerjaan akibat menjadi korban bom Kampung Melayu. Namun setidaknya ia tidak dipusingkan biaya medis karena kala itu pemerintah menanggung pengobatan korban bom.
Selain itu, Jihan harus melepas pekerjaannya saat fase penyembuhan luka akibat teror bom saat itu cukup berat. Jihan mengaku dirinya adalah tulang punggung keluarga setelah ditinggal wafat oleh ayah, dan harus membantu pengobatan ibunya yang menderita kanker.
"Setelah kejadian, yang tadinya saya ngurus ibu saya, jadinya ibu yang mengurus saya dalam keadaan sakit. Biaya check-up saya yang tanggung. Setelah kejadian itu saya jualan online baju-baju dan kosmetik gitu sampai sekarang," kata Jihan saat ditemui, Minggu (1/12).
Jihan mengaku cepat bangkit dari keterpurukan krisis pascateror karena memikirkan kondisi kesehatan ibunya. Ia tidak ingin membuat repot dan harus kembali kuliah, serta bekerja agar dapat tetap menghidupi keluarganya.
Selain itu, dukungan dari sejumlah korban dan keluarga korban elemen bom lain yang tergabung dalam YPI membuatnya bersemangat untuk kembali meniti kehidupan, menerabas dampak psikis dan psikososial dampak bom Kampung Melayu.
"Oh, ternyata ada yang lebih parah dari saya... Banyak bergabung dengan mereka, mendengar keluh kesah mereka," ucapnya.
Bahkan, perempuan yang saat ini sudah berumah tangga itu kini tergolong aktif memberi semangat kepada para korban dan keluarga korban yang sampai saat ini belum berdamai: baik dengan diri sendiri maupun pelaku terorisme.
Salah satu korban selamat bom Kampung Melayu, Jihan Thalib. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Dampak terorisme sendiri bukan semata pada fisik korban, tapi ke banyak hal, termasuk keluarga yang harus kehilangan yang terkasih atau tulang punggung keluarga.
Soal 'perdamaian' dengan pelaku terorisme, diakui Ni Luh Erniati, bisa menjadi salah satu metode untuk membantu penyintas memperkuat kembali mental mereka.
Erniati dan dua anaknya yang masih kecil harus kehilangan sang suami, I Gede Badrawan, pekerja di Sari Club, Legian, akibat teror Bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Jenazah suaminya kala itu baru berhasil diidentifikasi empat bulan pascateror.
Keluarga korban Bom Bali I, Ni Luh Erniati menunjukkan foto suaminya (I Gede Badrawan) yang merupakan korban tewas saat ledakan terjadi di Sari Club, Legian, Bali, pada 2002. (CNN Indonesia/Ryan Hadi Suhendra)
Di rumah sakit Erniati tidak membawa jenazah ke rumah lantaran sudah melangsungkan upacara penguburan hari sebelumnya. Ia hanya mengambil gambar badan sang suami melalui kamera ponselnya.
Erniati mengaku tidak tega, pun tidak tahu bagaimana cara memberi tahu kedua anaknya mengenai kabar tersebut. Sampai pada akhirnya, si sulung, Putu, pada waktu yang ia tidak ingat melihat ponselnya dan menanyakan mengenai gambaran potongan badan tersebut. Erniati menangis.
[Gambas:Video CNN] Ia memendam amarah terhadap pelaku teror. Kata dia, butuh waktu hingga 13 tahun untuk benar-benar bisa memaafkan teroris.
Saat itu pada 2015, Erniati diundang oleh Aida untuk bertemu narapidana terorisme dalam rangka rekonsiliasi. Tak ada keberatan dalam hatinya menerima ajakan itu. Rekonsiliasi itu --walau bukan dalam sekali pertemuan-- membawa dampak kepada ketenangan jiwa Erniati.
Erniati tergabung dengan Istri Suami Anak (ISANA) Dewata, wadah bagi korban dan keluarga korban Bom Bali untuk berkumpul. Wadah itu ia inisiasi bersama empat keluarga korban lainnya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pihak-pihak yang mencari mereka, korban dan keluarga korban bom Bali I. Teruntuk tahun ini, Erniati menjadi ketua ISANA Dewata.
Bukan hanya Erniati yang kehilangan orang terkasih akibat Bom Bali I, I Wayan Sudiana kehilangan istrinya, Widayati, akibat ledakan bom di Sari Club.
Wayan mengaku sulit melupakan sosok perempuan yang telah menjadi Ibu bagi kedua putranya.
"Hampir dua bulan itu saya bangun pagi kayak disuruh. Jam 2 pagi itu saya ke luar ambil motor [buat jemput istri], saya enggak pikir lagi, sampai di perjalanan baru inget, 'Eh, istri saya sudah meninggal, balik lagi lah saya," kata Wayan saat ditemui di kediamannya, Denpasar, 3 Desember 2019.
Bukan cuma itu, Wayan yang terpaksa harus menjadi ibu dan bapak bagi dua anaknya yang kala itu masih kecil, mengaku kerap mengunci diri di rumah tak mau berhubungan dengan dunia luar hingga hampir setahun. Beruntung ada iparnya yang membantu mengurus dua buah hatinya.
Ia sempat ke luar rumah untuk menghadiri peringatan satu tahun bom Bali, namun memutuskan untuk kembali karena tidak kuat. Tak ada psikolog atau psikiater yang menyambanginya, hanya teman-teman dan saudara yang bergantian memberinya semangat. Beruntung, hal tersebut setidaknya membuat dia berpikir jernih.
Akhirnya, setelah merasa harus kembali kuat —selain kembali bekerja untuk menghidupi kedua anaknya— Wayan pun mencari tahu data setiap korban. Ia ingin mengumpulkan mereka untuk dimasukkan ke dalam satu naungan komunitas yang diberi nama Isana Dewata. Hal itu, ujar dia, agar sesama korban bom bali bisa membuka dan menjalin komunikasi.
Sampai tahun 2012 ia merupakan ketua Isana Dewata yang kini menjadi bagian dari YPI. Pada tahun 2015, melalui fasilitas Aliansi Indonesia Damai (Aida), Wayan bertemu napi terorisme Ali Fauzi dan Iswanto di Solo. Ketika itu, aku dia, masih terbesit dendam kepada pelaku teror. Ia berusaha menahan emosi yang muncul di hati.
"Karena saya masih ingat pesan, Tuhan juga bisa memaafkan hambanya, saya seorang manusia kenapa sih saya tidak bisa memaafkan orang yang telah melakukan kejahatan kepada keluarga saya gitu," tuturnya.
"Akhirnya saya pelan-pelan saya sadari. Malam itu, oke, lebih baik kita memberi maaf. Hari pertama itu akhirnya saya salaman dengan Ali Fauzi dan Mas Iswanto," lanjut Wayan menceritakan momennya saat menjadi penyintas dampak aksi terorisme tersebut.
Pada satu sisi, Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Sucipto Hari Wibowo mengatakan para keluarga korban maupun korban yang sudah bertransformasi menjadi penyintas aksi terorisme sejauh ini setidaknya sudah 80 orang.
“Kalau anggota (YPI) banyak. Kita berlomba terus memacu teman-teman, ayo jadi penyintas, jangan terlalu merenung malah jadi susah,” kata Cipto.
Cipto mengaku tak mudah menjadi penyintas, sehingga peran solidaritas sesama korban maupun keluarga korban diharapkan dapat memacu transformasi itu. Ia mencontohkan salah satunya, masih ada korban dari teror Bom Bali II yang belum juga jadi penyintas hingga saat ini.
“Saya kasih tahu Mbak Kadek (salah satu penyintas Bom Bali II), kabari teman-temannya, ayo buang sampah, jadi penyintas… Kalau masih jadi korban itu pikirannya negatif, itu intinya,” tutur Cipto yang kini memimpin YPI sebagai wadah para korban dan keluarga korban terorisme se-Indonesia tersebut.
Kadek Ardani, korban Bom Bali II di Jimbaran berfoto bersama dengan anggota Yayasan Penyintas Indonesia (YPI). (Dok. Kadek Ardani)
Ipda Denny Mahieu adalah salah satu polisi korban teror yang menjadi penyintas. Setelah menjadi korban Bom Thamrin pada 2016 lalu, Denny saat ini melanjutkan kerjanya di Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi (Satpas) Polda Metro Jaya di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat.
Denny tak pernah menyangka dirinya akan menjadi salah satu korban dari kekejaman aksi terorisme yang telah terjadi di Indonesia sejak 2000.
“Saya tidak mengira. Cuma namanya, di mana pun saya berada harus waspada [sebagai polisi], dan itu betul,” ucapnya.
Kala itu, Denny yang masih berpangkat Iptu, sedang melakukan dinas di Pos Polisi Jalan MH Thamrin. Matanya tertuju ke beberapa buah benda mencurigakan di sudut ruangan pos polisi tersebut. Dan, ada ledakan di kedai kopi seberang pos polisi tersebut. Ketika ia keluar dan hendak melapor lewat radio panggil, bom di pos polisi itu juga meledak.
“Begitu saya masuk Pos Polisi, saya curiga, ada ransel di ujung satu, ada kue pake plastik, (botol air mineral) dua ada telinganya, saya bilang, ini bom. Pas saya periksa, itu Starbucks meledak. Saya di pinggir pos (terus) yang kedua saya bukan kena bom dulu, kesetrum dari mana itu, mungkin dua detik, terus meledak,” ujar Denny.
[Gambas:Video CNN] Seketika, Denny langsung digotong rekan-rekannya ke rumah sakit. Dia pun tak lagi mengetahui rangkaian peristiwa aksi teror selanjutnya yang terjadi di Jalan Thamrin pada hari itu.
Proses pemulihan yang berat pun dilalui Denny sepanjang 2016. Bahkan, ia sampai harus menjalani operasi plastik untuk memulihkan luka-lukanya. Namun, rasa ngilu masih kerap menghampiri karena banyak urat-urat dan sarafnya yang hancur terkena serpihan bom yang berisi paku dan mur.
Hingga saat ini, Denny juga masih harus berkunjung ke rumah sakit untuk menjalani kontrol atas luka-lukanya tersebut. Ia juga harus menjalani terapi berupa pijat urat atau saraf secara rutin per dua minggu hingga sekarang.
Ipda Denny Mahieu, korban teror bom Thamrin2016 , menunjukkan lengannya yang terluka akibat ledakan. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Dari peristiwa yang dialaminya itu, ia kemudian berjuang untuk memaklumi bahwa semua rangkaian tersebut merupakan takdirnya. Selain itu, Denny juga belajar untuk memaafkan para pelaku terorisme yang telah membuat dirinya hampir meninggal dunia.
Hal tersebut dibuktikan Denny saat menjadi saksi dalam sidang Aman pada Mei 2018 lalu. Kala itu, Denny memeluk Aman dan mengatakan bahwa dirinya juga seorang manusia serta mempertanyakan kesalahannya sehingga harus diserang dengan bom.
“Saya bilang, pesan batin, bukan kata-kata. Aku ini sama dengan dirimu, salah apa sama kamu, kelompok kamu. Itu pesan batin saya,” tutur Denny.