Sakit Saraf yang Menahun Hingga Penyintas Korban Aksi Teror
Ryan Hadi Suhendra, Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Jumat, 27 Des 2019 09:04 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Lokasi ledakan teror bom Bali I di Sari Club, Legian, Bali ,13 October 2002. (AFP PHOTO/CYRIL TERRIEN)
Bukan hanya Erniati yang kehilangan orang terkasih akibat Bom Bali I, I Wayan Sudiana kehilangan istrinya, Widayati, akibat ledakan bom di Sari Club.
Wayan mengaku sulit melupakan sosok perempuan yang telah menjadi Ibu bagi kedua putranya.
"Hampir dua bulan itu saya bangun pagi kayak disuruh. Jam 2 pagi itu saya ke luar ambil motor [buat jemput istri], saya enggak pikir lagi, sampai di perjalanan baru inget, 'Eh, istri saya sudah meninggal, balik lagi lah saya," kata Wayan saat ditemui di kediamannya, Denpasar, 3 Desember 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan cuma itu, Wayan yang terpaksa harus menjadi ibu dan bapak bagi dua anaknya yang kala itu masih kecil, mengaku kerap mengunci diri di rumah tak mau berhubungan dengan dunia luar hingga hampir setahun. Beruntung ada iparnya yang membantu mengurus dua buah hatinya.
Ia sempat ke luar rumah untuk menghadiri peringatan satu tahun bom Bali, namun memutuskan untuk kembali karena tidak kuat. Tak ada psikolog atau psikiater yang menyambanginya, hanya teman-teman dan saudara yang bergantian memberinya semangat. Beruntung, hal tersebut setidaknya membuat dia berpikir jernih.
Akhirnya, setelah merasa harus kembali kuat —selain kembali bekerja untuk menghidupi kedua anaknya— Wayan pun mencari tahu data setiap korban. Ia ingin mengumpulkan mereka untuk dimasukkan ke dalam satu naungan komunitas yang diberi nama Isana Dewata. Hal itu, ujar dia, agar sesama korban bom bali bisa membuka dan menjalin komunikasi.
Sampai tahun 2012 ia merupakan ketua Isana Dewata yang kini menjadi bagian dari YPI. Pada tahun 2015, melalui fasilitas Aliansi Indonesia Damai (Aida), Wayan bertemu napi terorisme Ali Fauzi dan Iswanto di Solo. Ketika itu, aku dia, masih terbesit dendam kepada pelaku teror. Ia berusaha menahan emosi yang muncul di hati.
"Karena saya masih ingat pesan, Tuhan juga bisa memaafkan hambanya, saya seorang manusia kenapa sih saya tidak bisa memaafkan orang yang telah melakukan kejahatan kepada keluarga saya gitu," tuturnya.
"Akhirnya saya pelan-pelan saya sadari. Malam itu, oke, lebih baik kita memberi maaf. Hari pertama itu akhirnya saya salaman dengan Ali Fauzi dan Mas Iswanto," lanjut Wayan menceritakan momennya saat menjadi penyintas dampak aksi terorisme tersebut.
Pada satu sisi, Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Sucipto Hari Wibowo mengatakan para keluarga korban maupun korban yang sudah bertransformasi menjadi penyintas aksi terorisme sejauh ini setidaknya sudah 80 orang.
“Kalau anggota (YPI) banyak. Kita berlomba terus memacu teman-teman, ayo jadi penyintas, jangan terlalu merenung malah jadi susah,” kata Cipto.
Cipto mengaku tak mudah menjadi penyintas, sehingga peran solidaritas sesama korban maupun keluarga korban diharapkan dapat memacu transformasi itu. Ia mencontohkan salah satunya, masih ada korban dari teror Bom Bali II yang belum juga jadi penyintas hingga saat ini.
“Saya kasih tahu Mbak Kadek (salah satu penyintas Bom Bali II), kabari teman-temannya, ayo buang sampah, jadi penyintas… Kalau masih jadi korban itu pikirannya negatif, itu intinya,” tutur Cipto yang kini memimpin YPI sebagai wadah para korban dan keluarga korban terorisme se-Indonesia tersebut.
Kadek Ardani, korban Bom Bali II di Jimbaran berfoto bersama dengan anggota Yayasan Penyintas Indonesia (YPI). (Dok. Kadek Ardani)
Ipda Denny Mahieu adalah salah satu polisi korban teror yang menjadi penyintas. Setelah menjadi korban Bom Thamrin pada 2016 lalu, Denny saat ini melanjutkan kerjanya di Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi (Satpas) Polda Metro Jaya di kawasan Daan Mogot, Jakarta Barat.
Denny tak pernah menyangka dirinya akan menjadi salah satu korban dari kekejaman aksi terorisme yang telah terjadi di Indonesia sejak 2000.
“Saya tidak mengira. Cuma namanya, di mana pun saya berada harus waspada [sebagai polisi], dan itu betul,” ucapnya.
Kala itu, Denny yang masih berpangkat Iptu, sedang melakukan dinas di Pos Polisi Jalan MH Thamrin. Matanya tertuju ke beberapa buah benda mencurigakan di sudut ruangan pos polisi tersebut. Dan, ada ledakan di kedai kopi seberang pos polisi tersebut. Ketika ia keluar dan hendak melapor lewat radio panggil, bom di pos polisi itu juga meledak.
“Begitu saya masuk Pos Polisi, saya curiga, ada ransel di ujung satu, ada kue pake plastik, (botol air mineral) dua ada telinganya, saya bilang, ini bom. Pas saya periksa, itu Starbucks meledak. Saya di pinggir pos (terus) yang kedua saya bukan kena bom dulu, kesetrum dari mana itu, mungkin dua detik, terus meledak,” ujar Denny.
Seketika, Denny langsung digotong rekan-rekannya ke rumah sakit. Dia pun tak lagi mengetahui rangkaian peristiwa aksi teror selanjutnya yang terjadi di Jalan Thamrin pada hari itu.
Proses pemulihan yang berat pun dilalui Denny sepanjang 2016. Bahkan, ia sampai harus menjalani operasi plastik untuk memulihkan luka-lukanya. Namun, rasa ngilu masih kerap menghampiri karena banyak urat-urat dan sarafnya yang hancur terkena serpihan bom yang berisi paku dan mur.
Hingga saat ini, Denny juga masih harus berkunjung ke rumah sakit untuk menjalani kontrol atas luka-lukanya tersebut. Ia juga harus menjalani terapi berupa pijat urat atau saraf secara rutin per dua minggu hingga sekarang.
Ipda Denny Mahieu, korban teror bom Thamrin2016 , menunjukkan lengannya yang terluka akibat ledakan. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Dari peristiwa yang dialaminya itu, ia kemudian berjuang untuk memaklumi bahwa semua rangkaian tersebut merupakan takdirnya. Selain itu, Denny juga belajar untuk memaafkan para pelaku terorisme yang telah membuat dirinya hampir meninggal dunia.
Hal tersebut dibuktikan Denny saat menjadi saksi dalam sidang Aman pada Mei 2018 lalu. Kala itu, Denny memeluk Aman dan mengatakan bahwa dirinya juga seorang manusia serta mempertanyakan kesalahannya sehingga harus diserang dengan bom.
“Saya bilang, pesan batin, bukan kata-kata. Aku ini sama dengan dirimu, salah apa sama kamu, kelompok kamu. Itu pesan batin saya,” tutur Denny.