Dua peristiwa tersebut merupakan bagian dari sejumlah pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum yang terjadi sepanjang tahun ini di berbagai daerah Indonesia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis laporan bertajuk 'Kondisi Hak Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat di Indonesia 2019'. YLBHI mencatat 78 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat di berbagai wilayah pada rentang Januari sampai 22 Oktober.
Dari 78 kasus itu, sekitar 6.128 orang menjadi korban, 51 orang meninggal dunia, dan 324 orang di antaranya korban dengan kategori anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk korban tewas, rinciannya 33 orang dalam aksi antirasisme di Wamena dan setelahnya, 4 orang dalam aksi antirasisme di Jayapura.
Kemudian 2 orang meninggal dalam aksi #ReformasiDikorupsi di Kendari, 3 orang meninggal dalam aksi #ReformasiDikorupsi di Jakarta, serta 9 orang meninggal dalam aksi 22-24 Mei di Jakarta.
Dalam laporan itu disebutkan, sebanyak 44 korban tewas tanpa informasi resmi mengenai penyebab kematiannya. Kemudian 6 orang tertembak, dan 1 orang kehabisan nafas karena gas air mata.
Data di atas belum termasuk kasus pelanggaran kebebasan berpendapat yang terjadi pada rentang akhir Oktober sampai Desember ini.
"Di sini lah, dalam tiga bulan terakhir ini Jokowi menerima semacam kritikan yang luas. Pada saat yang bersamaan demokratisasi, hak asasi, antikorupsi ditinggalkan oleh Pak Jokowi," kata Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (18/12).
Ray mengatakan masyarakat yang menaruh harapan pada sosok Jokowi lima tahun lalu kini mulai antipati. Ketidakpercayaan masyarakat muncul seiring sikap Jokowi yang tak menjunjung HAM dan mendukung gerakan antikorupsi.
Sehingga, kata Ray, tidak mengherankan saat pelantikan Jokowi pada Oktober lalu, rakyat tak menyambut dengan suka cita seperti lima tahun sebelumnya. Jokowi yang sekarang pun bukan Jokowi yang dulu yang dielu-elukan.
"Jadi dia ini dilihat publik berubah drastis, dari yang dulu dicanangkan orang sebagai pemimpin gerakan antikorupsi, pemimpin terhadap gerakan HAM, tiba-tiba dua hal itu ditinggalkan oleh dia, demi infrastruktur," ujarnya.
Ray menganggap Jokowi akan tetap memilih membangun dengan mengabaikan prinsip demokrasi pada periode keduanya. Tentu konsekuensinya, rakyat semakin tak percaya kepada pengusaha mebel asal Solo tersebut.
Hal tersebut sudah terlihat dalam awal periode keduanya. Masyarakat mulai tak acuh dengan beberapa pernyataan yang dilontarkan Jokowi.
Contohnya soal hukuman mati bagi korupsi. Alih-alih mendukung yang disampaikan Jokowi itu, masyarakat justru menentangnya. Menurutnya, yang saat ini diminta publik bukan hukuman mati bagi koruptor, tetapi memulihkan kembali KPK.
"Saya lihat dia mencoba berbagai upaya untuk memulihkan kembali kepercayaan publik itu, tetapi enggak kena," tuturnya.
"Karena dia sama sekali enggak menyentuh persoalan dasarnya. Apa persoalan dasarnya? Kepercayaan publik itu menurun terhadap dia," kata Ray melanjutkan.
Ray mengatakan masyarakat akan tetap tak percaya dengan setiap kebijakan yang dikeluarkan Jokowi pada tahun-tahun berikutnya. Publik sudah kadung tak percaya Jokowi karena ia tak menyelesaikan pokok persoalannya.
Sejumlah masalah utama yang harus dijawab Jokowi adalah Perppu untuk menghentikan pelemahan terhadap KPK, hingga menghentikan kriminalisasi terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik ke pemerintah.
"Dia sudah kesulitan sekarang menggerakkan orang. Karena (masyarakat) hilang kepercayaan. Orang sudah enggak peduli. Orang sudah merasa enggak sehati lagi dengan dia," ujarnya.
Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA juga menemukan kepercayaan publik terhadap Jokowi menurun setelah Pilpres 2019. Survei terhadap 1.200 responden ini dilakukan empat kali sebelum dan sesudah Pilpres 2019.
Pada survei Juli 2018 sebelum pilpres, LSI Denny JA mencatat publik yang percaya presiden bekerja untuk kepentingan rakyat sebesar 81.5 persen. Kepercayaan itu melorot setelah pilpres menjadi 75,2 persen berdasarkan survei September 2019.
Secara umum kepercayaan publik terhadap Jokowi masih tergolong tinggi. Meski demikian Jokowi harus menjadikan penurunan ini sebagai peringatan.