Jakarta, CNN Indonesia --
DPR menggulirkan wacana pembentukan panitia khusus (
pansus) merespons dugaan skandal keuangan
PT Jiwasraya (Persero) yang makin sengkarut. Wacana Pansus mengemuka saat rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi VI DPR dengan Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko, di DPR, pertengahan Desember lalu.
Usulan itu disambut mayoritas fraksi di DPR. Terhitung fraksi PDIP, Golkar, PPP hingga Demokrat sudah bersuara untuk mendukung langkah tersebut.
Seperti diketahui, perusahaan asuransi plat merah itu mengalami masalah keuangan hingga tak bisa membayar klaim nasabah. Kejagung dalam penyelidikannya menyebut Jiwasraya berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun per Agustus. Angka itu juga bisa terus bertambah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PT Jiwasraya sampai dengan Agustus 2019 menanggung potensi kerugian negara Rp13,7 triliun. Ini merupakan perkiraan awal dan diduga akan lebih dari itu," tutur Jaksa Agung, Burhanuddin beberapa waktu lalu.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus memprediksi dengan nada pesimisme mengenai arah pengusutan Jiwasraya jika ditarik ke ranah pansus DPR. Namun sebelumnya dia menilai wajar bila DPR membentuk pansus. DPR, kata dia, tengah mengoptimalkan perannya sebagai sebuah instrumen kontrol.
Namun demikian, Lucius memberi catatan mengenai ketidakpercayaan publik seperti tecermin dalam sejumlah survei belakangan. Apatisme masyarakat terhadap kinerja DPR bisa jadi persoalan serius. Publik melihat keberadaan pansus selalu dibayang-bayangi oleh kepentingan pragmatis DPR maupun partai politik sendiri.
"Kehadiran pansus hanya menghasilkan kegaduhan, minim makna karena dorongan utama pembentukannya bukan memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi justru kepentingan kelompok dan parpol," kata Lucius.
Lucius menyatakan kepentingan parpol dan kelompok tertentu akhirnya melahirkan rekomendasi akhir yang tumpul dan tak berpihak pada kepentingan publik. Ia mencontohkan Pansus Pelindo II menjadi contoh terhangat.
Pansus Pelindo II diketahui digunakan untuk mengawal kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Pelindo II oleh DPR periode 2014-2019 lalu
Salah satu poin krusial yang dibacakan dalam rekomendasi akhir Pansus dalam Rapat Paripurna yang digelar pada Desember 2015 silam adalah mendesak Jokowi mencopot mantan Menteri BUMN Rini Soemarno. Rini, menurut Pansus Pelindo II, dianggap telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Rekomendasi itu bahkan sempat dilaporkan kembali oleh Pansus Pelindo II pada masa rapat paripurna 24 Mei 2019. Namun, rekomendasi yang seharusnya bersifat mengikat itu seperti menjadi sebatas imbauan. Rini Soemarno pun tak pernah dicopot sebagai Menteri BUMN sampai Kabinet Indonesia Kerja 2014-2019 berakhir awal Oktober lalu.
Melihat rekam jejak DPR dalam membentuk Pansus itu, Lucius pesimistis bila Pansus Jiwasraya mampu menyelesaikan kasus tersebut. Ia menyatakan rencana pembentukan Pansus Jiwasraya akan mengalami nasib serupa Pansus Pelindo II jika tak didorong oleh kepedulian DPR terhadap nasib nasabah.
"Bisa saja Pansus Jiwasraya bisa dengan mudah dibelokkan untuk kepentingan tertentu dari DPR maupun parpol. Apalagi kita tahu bahwa sebagai sebuah perusahaan asuransi," kata Lucius.
Selain itu, Lucius menyatakan Pansus tersebut membuka celah bagi DPR untuk 'kongkalikong' dengan PT Jiwasraya. Sebab, Jiwasraya masih punya daya yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mendapatkan keuntungan ekonomi oleh DPR.
"Sebagai perusahaan masih ada harta atau modal yang bisa memberikan manfaat bagi DPR," kata dia.
Terpisah, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai pembentukan pansus tentu diharapkan mampu membuka titik terang terhadap kasus yang menimpa Jiwasraya. Meski demikian, Wasis menyatakan pembentukan Pansus selama ini dikaitkan dengan relasi politis para anggota dewan dengan para konstituennya.
Hal itu bertujuan sebagai pertunjukan bahwa anggota dewan sedang 'peduli' dengan isu-isu yang tengah menjadi perbincangan masyarakat.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
"Nah, kalau untuk eksekusi rekomendasi dari pansus, mereka sendiri hanya sebatas menyampaikan aspirasi namun belum tentu mengadvokasi lebih lanjut kan," kata Wasis kepada
CNNIndonesia.com, kemarin.
Melihat persoalan itu, Wasis pun pesimistis bila pengawalan hasil akhir rekomendasi Pansus Jiwasraya nantinya memiliki taji untuk mengungkap kasus tersebut. Menurutnya, selama ini pansus yang dibentuk DPR dinilai tak memiliki kemauan politik untuk mengawal kasus yang ditangani hingga selesai tuntas.
"Mereka kemudian ujung-ujungnya menyerahkannya pada kepolisian. Padahal kalau mau, pansus itu bisa bertindak lebih karena mereka wakil rakyat," kata Wasis.
Sementara itu, sejumlah elite partai dan politikus di DPR ramai-ramai membantah nuansa politis dalam wacana pembentukan Pansus Jiwasraya. Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief membantah keberadaan pansus bakal bermotif menjatuhkan rezim Joko Widodo.
"Partai Demokrat akan mendorong terbentuknya Pansus
Jiwasrayagate. Dengan harapan bisa terurai persoalan sesungguhnya dan mendapatkan jalan keluar pembayaran para Nasabah. Bukan untuk menjatuhkan Presiden Jokowi," kicau dia, lewat akun Twitter-nya, Senin (30/12).
 Andi Arief. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Senada, Anggota DPR Komisi VI fraksi PDIP, Deddy Sitorus mengaku kesal melihat kasus Jiwasraya dipolitisasi dan dikaitkan Pilpres 2019. Deddy mengatakan kasus Jiwasraya bukan permasalahan baru meski boroknya baru terurai akhir-akhir ini. Politikus DPR tersebut mengatakan bahwa sejak 2006 Jiwasraya sudah mengalami defisit sebesar Rp 3,2 triliun.
Menurutnya kasus Jiwasraya berlarut disebabkan oleh ketidakjelian banyak pihak. Bencana Jiwasraya sejatinya sudah dimulai sejak 1998 dengan langkah korporasi yang salah.
Deddy meminta agar fokus publik dapat diarahkan secara objektif kepada lembaga pemerintahan seperti Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Akuntan Publik. Dirinya mengaku heran manipulasi yang selama ini dilakukan tidak terdeteksi berbagai lembaga tersebut.
Sementara itu. Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Golkar Idris Laena menjamin keberadaan Pansus Jiwasraya bakal menyelesaikan persoalan. DPR, kata dia, nantinya bisa memulai tiga langkah pengawasan.
Langkah pertama, kata dia, DPR bersama pemerintah nantinya bisa mencari jalan keluar bersama untuk mengatasi agar nasabah asuransi Jiwasraya tidak dirugikan.
"Sehingga ini harus menjadi concern pemegang saham, dalam hal ini pemerintah," kata dia.
Selain itu, Idris menyatakan DPR bisa memanggil langsung para direksi dan komisaris Jiwasraya yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Menurutnya, mereka yang diduga terlibat harus memberikan klarifikasi dan pertanggungjawaban atas kasus tersebut. Selain itu, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas juga akan didorong melakukan langkah konkret untuk penyehatan kondisi keuangan Jiwasraya.
(rzr/ain)