Jakarta, CNN Indonesia -- Pengurus Besar Nahdatul Ulama (
PBNU) meminta pemerintah tidak lembek dalam menegakkan kedaulatan di Laut Natuna Utara meski
China merupakan investor besar di Indonesia.
Ketua PBNU Said Aqil Siroj mengatakan keutuhan dan kesatuan NKRI di darat, laut, dan udara tidak bisa ditukar dengan kepentingan apapun.
"Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi," ujar dia, di Kantor PBNU, Jakarta, Senin (6/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihaknya juga mendesak China berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan Indonesia yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982.
Dalam konvensi itu, dia berkata Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994.
 KRI Teuku Umar-385 ikut bersiaga di perairan Natuna menyusul insiden dengan China. ( ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
"Karena itu tindakan Coast Guard Republik Rakyat Tiongkok mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima," ujarnya.
Di sisi lain, NU mengklaim mendukung sikap pemerintah saat ini terhadap China, khususnya Menteri Luar Negeri Retno L Marsudi dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Kedua pihak tersebut dinilai tegas terhadap tindakan China, termasuk saat mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas ilegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan Indonesia.
Dia berkata ketegasan pemerintah diperlukan karena kedudukan laut amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu, dia juga meminta pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.
"Ketidaksungguhan pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju, sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers," ujar Said.
Dia menambahkan NU berpandangan, sebagaimana dinyatakan pendiri NU Hasyim Asy'ari bahwa hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu 'ain, yakni wajib bagi setiap orang Islam.
"Dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]Asal Mula KonflikLebih lanjut, Said menyatakan persoalan ini bermula dari klaim sepihak China bahwa Kepulauan Nansha atau Spratly masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pada peta 1947.
Klaim itu, lanjut dia, membuat area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut China Selatan yang sebenarnya berjarak 2.000 Km dari daratan China.
"Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam," ujar Said.
Terkait dengan hal itu, Said menyampaikan Filipina sejatinya pernah memperkarakan China atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada tahun 2013.
Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016, kata dia, memutuskan seluruh klaim teritorial China atas Laut Selatan China sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS.
Akan tetapi, Said menyebut China menolak keputusan tersebut.
"Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia," ujarnya.
(jps/arh)